Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Gombal

5 Oktober 2017   16:55 Diperbarui: 5 Oktober 2017   17:12 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bijak berkata jangan mencapur-adukan seni dengan politik. Sebab hal itu hanya akan merusak esensi berkesenian yang harus merdeka dari segala macam kepentingan, intervensi, atau malah menjadi kendaraan politik. Namun, di dalam hidup memang tak ada kewajiban untuk mengikuti kata-kata orang bijak. Tak ada keharusan untuk menjadi bijak, apalagi menjadi orang jujur. Bagi saya dalam segala hal, termasuk berkesenian, kita harus menghalalkan segala cara, termasuk bermain politik.

Saya berkata demikian, karena saya sangat terinspirasi dengan orang-orang yang belakangan ini memanfaatkan seni atau komunitas seni sebagai tunggangan politik. Atau minimal sebuah komunitas seni dimanfaatkan sebagai media untuk mencari uang--kalau tidak mau disebut mengemis--dengan dalih mengembangkan dan menghidupkan kesenian di daerah.

Kalau Setya Novanto mau dicalonkan, saya pasti mendukung beliau untuk mencalonkan diri menjadi Ketua Dewan Kesenian Daerah. Terlepas, misalnya, politikus Partai Golkar itu adalah tokoh kontroversial yang sering tersangkut masalah hukum. Bagi saya itu tak masalah. Yang penting calon ketua adalah orang berduit. Tak usah kita persoalkan sumber duit yang ia miliki, yang penting Dewan Kesenian Daerah dipegang oleh orang yang punya banyak uang. Jadi, dalam perjalannnya Dewan Kesenian Daerah tidak perlu khawatir akan kekurangan dana kegiatan dan tak perlu repot menyebar proposal berisi uang puluhan, bahkan ratusan juta ke perusahaan-perusahaan swasta.

Orang-orang yang berada di dalam struktur kepengurusan juga tak harus orang yang mengetahui atau sering terlibat dalam kegiatan berkesenian. Tak perlu orang-orang yang paham cara mengembangkan seni, merangkul komunitas seni, dan tak harus memiliki kepedulian terhadap kesenian. Yang penting mereka patuh dan tunduk kepada "aturan" yang sudah disepakati.

Lalu, bagaimana caranya agar orang-orang politik bisa mengambil alih "rumah besar" yang sejatinya adalah milik para seniman dan sastrawan? Ya, gampang! Caranya sangat mudah. Tinggal menjalin kesepakatan dengan "orang-orang pilihan" yang berada di dalam struktur kepanitiaan pembentukan Dewan Kesenian untuk memilih calon pilihan kita. Juga jangan lupa untuk memobilisasi massa bayaran agar jika di dalam pemilihan dilakukan voting terbuka, calon andalan kita punya peluang menang lebih besar.

Setelahnya, kita bisa memanfaatkan Dewan Kesenian Daerah untuk memuluskan berbagai kepentingan yang kita miliki. Apalagi, ada banyak komunitas seni di desa-desa yang masih berharap bantuan agar mereka dapat mengembangkan kesenian di desa mereka sendiri. Kalau satu kelompok seni bisa dibantu Rp10 juta per tahun, maka hanya kita hanya butuh Rp500 juta untuk merangkul 50 kelompok seni di daerah. Angka ini relatif lebih murah jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan saat musim kampanye tiba. Masyarakat pasti senang dibantu seperti itu. Sebab, selama ini mereka merasa tidak diperhatikan, bahkan tidak sedikit yang mengembangkan kelompoknya dengan biaya sendiri.

Terbentuknya Dewan Kesenian Daerah mestinya bisa dimanfaatkan untuk ajang melatih kualitas akting kita. Bukankah di sana ada bagian yang mengakomodir bidang seni teater? Melalui pengembangan seni teater ini, kita bisa melatih cara bersandiwara dengan baik dan elegan. Kalau bisa kualitasnya mengalahkan akting para aktris sinetron atau para politikus di Indonesia. Dengan cara ini, kita akan semakin mudah untuk mengelabui masyarakat bahwa sebenarnya kita tidak sedang mengembangkan dan membudayakan kesenian daerah, tetapi sedang memperjuangkan salah satu cabang seni yang saya namakan gombalisme seni, politik seni, dan air seni. Bau pesing tak masalah. Toh, yang penting covernya, bukan isinya.

16.45 wita di Majelis Ketapang, 5 Oktober 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun