Seseorang yang mengaku sebagai nabi dan rasul datang ke rumah saya. Suatu kebanggaan bagi saya karena didatangi seorang utusan Tuhan yang membawa risalah kenabian penerus perjuangan Muhammad bin Abdullah. Lalu, saya tanyakan apa maksud kedatangannya itu. Ternyata ia berasal dari sebuah desa yang karena berbagai pertimbangan terpaksa tidak akan saya sebutkan di sini. Namun, intinya ia meminta saya untuk menjadi pengikutnya dan patuh terhadap syariat yang telah ditetapkan Tuhan melalui dirinya.
Saya menyimak dengan saksama karena saya ingin mengetahui lebih dalam ajaran-ajaran yang ia bawa. Kemudian, ia menyampaikan berbagai dalil dan argumentasi yang melegitimasi posisinya sebagai nabi dan rasul. Bahkan, ia menceritakan secara detail ketika ia didatangi seberkas cahaya berwarna sangat terang. Menurutnya, cahaya itu adalah malaikat yang membawa pesan illahi. Cahaya itu membawa kabar bahwa ia adalah seorang rasul yang meneruskan perjuangan Muhammad. Sebenarnya saya tidak percaya, karena tidak mungkin bagi saya mengakui ada nabi terakhir setelah Muhammad. Namun, saya juga tidak ingin membantahnya, karena jika hal itu saya lakukan, saya khawatir akan muncul mudharat yang jauh lebih besar.
Sungguh, saya tidak ingin menghabiskan waktu dengan berdebat yang pada akhirnya akan membuat diri saya merasa lebih baik daripada dirinya. Saya juga tidak ingin menambah rumit persoalan di desa ini. Saya ingin masyarakat di sini dapat menjalani kehidupan dengan damai, meskipun sebagian besar dari mereka mengalami kesumpekan hidup yang tiada habisnya. Jadi, daripada harus adu argumentasi yang akan berujung pada tindakan anarkis, lebih baik saya diam saja.
***
Ia masih terus menjelaskan dan menceritakan pengalaman spiritualnya yang nyaris serupa dengan peristiwa yang terjadi pada Muhammad. Saya terus memperhatikan. Tetapi, semakin ia menjelaskan, semakin yakin pula bahwa ia adalah orang yang tersesat. Tetapi, saya tidak mungkin mengusirnya. Saya juga tidak mungkin memanggil tetangga saya agar segera membuangnya ke ujung samudera. Saya bukan manusia yang suka berbuat anarkis seperti itu. Saya cinta damai.Â
Allah pasti akan murka jika saya menyakiti makhluk ciptaannya. Saya hanya ingin sang nabi palsu itu mendapat hidayah dengan sendirinya tanpa harus melalui perdebatan, apalagi sampai ada paksaan. Apalagi saya merupakan orang yang terbiasa memperlakukan tamu sebagai raja. Bagi saya, seorang raja haruslah dihormati dan dipatuhi semua perkataannya.
Kalaupun misalnya, ia ingin tinggal di rumah saya, dengan senang hati akan saya persilakan. Saya akan memberikan jamuan semampu saya. Bahkan, jika ia ingin tidur bersama istri saya, tentu saja saya tidak akan melarang, sebab yang terpenting bagi saya adalah bagaimana caranya memuliakan sang raja. Ia kemudian mengajak salat berjamaah di rumah saya.Â
Dan saya mempersilakan ia untuk menjadi imam, sementara saya dan istri saya menjadi makmumnya. Sejujurnya, saya merasa kurang sreg saat ia menjadi imam. Apalagi, tata cara salatnya jauh berbeda dari cara salat yang selama ini saya pelajari di pesantren. Tetapi, bukankah ia adalah seorang tamu? Dan sebagai tuan rumah saya wajib menghormati siapa saja yang datang ke rumah saya.
Setelahnya, ia begitu menikmati tinggal di rumah saya. Bahkan, belakangan ini ia cukup sering tidur bersama istri saya. Saya pikir, ini tak masalah karena masih dalam batas-batas kewajaran. Toh, ia menyetubuhi istri saya dengan sangat lembut seperti saat ia menggauli istrinya sendiri. Tidak ada tindak kekerasan sama sekali. Apalagi, ia juga tidak punya niat untuk membunuh saya.
Â
Batulicin, 4 November 2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H