Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Mewarung" di Antara Tradisi, Ideologi dan Agama

6 Januari 2017   13:19 Diperbarui: 6 Januari 2017   14:14 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang kami diskusikan di Majelis Ketapang hari ini. Di antaranya soal tradisi mewarung masyarakat di Kalimantan Selatan. Saya memulai diskusi dengan melemparkan pertanyaan, “Apakah mewarung sekadar menjadi tradisi, atau ia sudah bergeser ke ranah ideologi, atau justru sudah dianggap seperti agama?”

Seseorang yang tidak pernah tahu betapa asyiknya nongkrong di warung kopi mungkin tidak akan mengetahui mengapa saya melontarkan pertanyaan itu. Sebab, di sejumlah daerah, khususnya di wilayah Banua Anam, mewarung memang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat setempat. Bahkan, menurut penuturan Bang Arif, beberapa warga yang mendirikan warung di depan rumahnya menyediakan fasilitas hiburan seperti televisi. Jadi, para pengunjung dapat nongkrong di warung sambil nonton Rodja TV, TV9, atau Aswaja Channel.

Mewarung itu sudah jadi tradisi masyarakat. Di sana, orang lebih kuat duduk di warung daripada duduk di majelis zikir,” ujar Bang Arif sambil menyeruput kopinya yang hitam dan kental.

Uniknya, mereka yang menjadi langganan warung kopi bukanlah orang yang sudah mapan secara finansial. Bukan pula orang yang memiliki kebun sawit, ratusan hektar sawah, dan memiliki uang tabungan miliaran rupiah. Sebagian besar pelanggannya adalah pengangguran. Pengangguran yang haus akan kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Kalaupun ada pegawai, berarti pegawai non job," begitu katanya. 

Seorang kawan lain nyeletuk bahwa mewarung menyimpan nilai filosofis yang sangat dalam. Orang yang sering duduk di warung kopi pasti terbiasa dengan perbedaan pendapat. Ketika berada di warung, semua orang akan meninggalkan identitas “keduniawian” seperti pangkat atau jabatan. Mereka yang duduk di warung memiliki derajat yang sama di mata mbak-mbak penjaga warung kopi.

Bang Arif bercerita bahwa ada jurang perbedaan tradisi dan budaya masyarakat antara warga di kawasan hulu sungai dengan masyarakat Pagatan, tempat tinggalnya sekitar tahun 2005. “Di Pagatan, mencari warung kopi itu susah sekali. Sangat berbeda dengan di daerah hulu sungai. Di sana, mencari warung yang buka dari pagi sampai malam sangat mudah,” ungkapnya. “Tetapi kalau di Batulicin, warung kopi yang enak dijadikan tempat nongkrong cukup banyak.”

Dan yang unik dari tradisi mewarung masyarakat adalah isi obrolan yang membicarakan topik-topik up to date. Dari persoalan konflik timur tengah, politik, agama, sampai soal perkembangan industri film porno dunia. Bang Arif misalnya. Ia baru mengenal ada mantan bintang film porno yang sangat cantik bernama Sasha Grey. Kalau saja Bang Arif tidak pernah nongkrong di warung, ia tentu tidak pernah mendengar nama Sasha Grey yang saat ini sudah insyaf dan lebih memilih untuk bekerja di jalur yang “halal”.

Perpecahan firqah di dalam Islam juga menjadi perhatian kami. Saya menjelaskan bahwa salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini juga mengalami ujian yang berat karena perbedaan sudut pandang organisasi struktural dan mereka yang tidak masuk dalam organisasi struktural namun tetap menjalankan ajaran yang sama secara kultural. Seringkali keduanya saling berseteru. Dan perseteruan ini dimanfaatkan dengan baik oleh media-media mainstream yang memiliki kepentingan lain.

Soal peran media juga menjadi topik yang cukup serius kami bahas hari ini. Orang-orang yang belum mengetahui soal media massa dan bagaimana mereka memengaruhi pemikiran masyarakat mungkin akan terkejut karena saya mengatakan nyaris tidak ada jurnalis profesional di dunia ini. Saya biasa menyebut wartawan yang bekerja di media-media besar nasional sebagai wartawan semi profesional. Karena bagaimanapun mereka pandai dalam mengolah berita, pintar bahasa Inggris, dan sudah melanglang buana ke berbagai negara, tetapi tetap saja mereka tidak bisa objektif dalam menilai sebuah peristiwa, utamanya peristiwa politik.

Untuk mencari kesalahan seorang pejabat publik adalah hal yang remeh temeh bagi seorang wartawan. Ini karena setiap pejabat publik pasti memiliki sisi negatif, baik dari kacamata masyarakat maupun dari sisi kinerja. Apalagi jika sebelumnya pejabat yang bersangkutan memang memiliki masalah hukum yang berpotensi membawanya ke balik jeruji besi.

Tentu saja saya tidak bisa menceritakan semuanya secara detil. Namun, garis besarnya memang seperti itu. Saat ini, media mainstream kita sudah memegang prinsip sekarepe dewe. Yang penting menguntungkan, silahkan diberitakan dengan “objektif”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun