Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fanatisme Cap Tempe

17 Juli 2016   12:58 Diperbarui: 17 Juli 2016   14:33 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sharetipsdancara.blogspot.com

Sampeyan itu bijimana sih. Katanya tidak fanatik sama tempe? Tapi kok tiap hari sampeyan makan tempe. Sampeyan juga tidak mau makan kalau tidak ada tempe. Bahkan tempo hari sampeyan tidak mau makan di restoran cepat saji hanya karena di restoran tersebut tidak menyediakan menu tempe goreng kentucky.
Juga bagaimana dengan anak laki-laki sampeyan yang baru lahir itu. Kenapa sampeyan memberi ia nama Ahmad Sutempe? Pun begitu dengan desain rumah sampeyan yang nuansa tempenya amat kental. Saya sendiri sempat terkejut saat melihat berbagai perabotan di rumah sampeyan, juga lukisan-lukisan yang semuanya tak jauh-jauh dari tema besar bertajuk tempe.

Dan tentu saja saya amat kaget saat numpang buang air di toilet rumah sampeyan. Baru sekarang saya menemukan model toilet seperti ini. Kalau hal ini saya ceritakan ke orang lain, mereka tak mungkin percaya. Persis ketika orang-orang Arab Jahiliyah yang tidak mempercayai peristiwa Isra' Mi'raj-nya Nabi Muhammad SAW. Atau seperti orang Nasrani dan Yahudi yang menolak tata cara ibadah baru yang diajarkan Rasulullah. Karena menurut mereka, salat lima waktu adalah bidah.

Akumulasi keheranan saya tentu saja saat sampeyan lebih memilih untuk hidup dan mengabdikan diri bersama tempe daripada melanjutkan hidup bersama istri sampeyan yang cantik jelita itu. Lalu dengan santainya sampeyan berkata,"Aku jauh lebih mencintai tempe ini daripada engkau."

Saya memang kurang pandai dalam memahami pola pikir sampeyan. Saya juga tidak mungkin bisa menebak isi hati sampeyan. Tetapi, saya bisa membaca melalui gesture tubuh, gaya bicara, dan kecenderungan pemikiran sampeyan yang begitu tampak bahwa sampeyan adalah fans tempe garis miring. Sampeyan sudah keblinger, Bung!

Coba sekarang saya mau mendengar pendapat dan pandangan sampeyan terhadap tempe. Sebelumnya, jangan anggap saya sebagai musuh, atau sebagai orang-orang yang punya pemikiran berbeda dengan sampeyan. Silahkan kemukakan pendapat sampeyan tentang tempe.

"Kalau saya fanatik dengan tempe, sampeyan mau apa, protes? Lagipula, sebenarnya tidak hanya menyukai tempe sebagai makanan saja. Saya menyukai tempe karena ia adalah satu dari sedikit makanan yang begitu dekat dengan rakyat kecil. Tempe punya jasa besar untuk menyambung hidup jutaan warga miskin di negeri ini. Saya juga mengagumi proses pembentukan tempe yang menurut saya sangat luar biasa. Tak hanya itu, belakangan saya baru tahu kalau tempe juga kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi."

"Tempe juga punya keajaiban lain karena ia memiliki nilai obat. Ia bisa menyembuhkan berbagai penyakit di dalam diri manusia. Ia bisa membuka cakrawala berpikir kita. Ia bisa mengajak kita untuk melihat persoalan secara 'long shoot' bukan hanya secara makro."

"Tempe juga punya 'karomah' yang luar biasa. Lihatlah bagaimana biji-biji kedelai berproses sehingga terbentuk tekstur memadat yang sungguh sangat indah. Walaupun pada akhirnya, ia menjadi makhluk pinggiran dan sering dicaci sebagai penganan ndeso, namun justru disana lah sumber kekuatannya. Karena itulah saya punya kekaguman yang besar terhadap tempe."

Iya, saya setuju soal itu. Tapi tak lantas membuat sampeyan seakan-akan begitu memuja bahkan sampai memberhalakan tempe, kan? Saya yakin, jika tempe bisa bicara, ia akan sangat sedih melihat sikap sampeyan yang begitu berlebihan mencintainya.

Tempe tetap akan menjadi tempe walaupun ia dijual di mall, swalayan, atau disajikan di hotel bintang tujuh. Ia tidak mungkin berubah menjadi hamburger, pizza, atau spaghetti. Biarlah tempe tetap menjadi tempe yang menjadi penganan pujaan kaum proletar.  Karena sesungguhnya, tempe tidak ingin digemari, tidak pula ingin dipuja, apalagi disembah.
Batulicin, 17 Juli 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun