Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beda itu Biasa, Seperti Halnya Manusia Memandang Singkong secara Berbeda-beda

28 Juni 2016   14:02 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:05 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi (dokpri) "][/caption]Selama tidak saling menyalahkan, sebenarnya perbedaan pendapat di antara manusia merupakan hal yang sangat wajar. Bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa perbedaan pendapat merupakan rahmat. Munculnya perbedaan itu pun tidak bisa dilepaskan dari kuasa-Nya, agar umat manusia bisa belajar menghargai perbedaan dengan sesama saudaranya.

Hanya saja, sebagian dari kita mungkin masih sangat tabu dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, sehingga seringkali munculnya berbagai persoalan yang kita jumpai hari ini bersumber dari kesempitan cara berpikir dan cara pandang kita.

Tak usah jauh-jauh, bahkan manusia memiliki perspektif berbeda-beda dalam memandang singkong. Ada yang mencintai singkong dengan sangat militan, bahkan cenderung menuhankan singkong. Ada pula yang cinta, namun dalam kecintaan yang besar, mereka masih bisa objektif dalam memandang singkong.

Lainnya, ada yang menganggap singkong sebagai makanan biasa-biasa saja, tidak memiliki kelebihan. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa singkong merupakan makanan yang identik dengan orang-orang pinggiran, kelas sendal jepit.

Saya misalnya. Saya sangat menggilai singkong goreng dengan sejumlah catatan. Singkong yang saya sukai harus diolah dengan beberapa langkah. Misalnya dengan merebusnya terlebih dahulu sebelum digoreng.

Lama perebusan tergantung kualitas singkong. Jika kualitasnya bagus, proses perebusan tidak sampai satu jam. Sementara jika tekstur singkong agak keras, proses perebusan memakan waktu lebih lama.

Setelah direbus, singkong direndam dengan garam, atau bisa juga diberi bumbu bawang putih plus garam secukupnya. Kemudian, singkong digoreng menggunakan minyak baru. Jangan sekali-kali menggoreng singkong menggunakan minyak jelantah, minyak bekas, atau minyak rambut. Rasanya pasti nggak karuan.

Yang perlu dicatat, saat menggoreng singkong harus dengan sabar. Lebih bagus lagi jika dilakukan sambil berzikir. Oh iya, jangan angkat singkong dari penggorengan sebelum singkong yang kita goreng terlihat matang dan agak kering. Ini penting agar saat dikunyah, singkong akan memberikan sensasi yang ciyamik, artistik, dan relijiyes.

Agar cita rasa singkong lebih sempurna, kita bisa menambahkan dengan membuat sambal yang biasanya saya sebut sebagai Sambal Mbah Glundung. Sebab, beliau-lah yang menemukan resep pembuatan sambal ini. Caranya membuatnya, bawang putih diuleg dengan sedikit garam.

Lalu campurkan gula merah dan gula putih secukupnya. Campurkan sedikit air agar proses pengulekan lebih mudah. Terakhir, tambahkan sedikit minyak panas yang kita gunakan untuk menggoreng singkong tadi.

Kalau boleh sombong, singkong goreng buatan saya ini sudah memukau banyak makhluk Allah. Dari sekian ratus orang yang sudah merasakannya, puluhan orang memuji singkong buatan saya. Sementara sisanya mengaku tak sanggup berkata-kata karena kagum dengan cita rasanya.

Tapi karena saya hidup di dunia yang amat luas, tidak mungkin saya mengatakan bahwa singkong saya-lah yang terbaik. Apalagi ada beraneka ragam olahan singkong populer di masyarakat yang saya yakin juga tak kalah enak dengan singkong buatan saya. Dan saya harus bisa menerima kenyataan itu.

Bahkan dewasa ini, olahan singkong semakin berkembang pesat. Kalau dulu, saya hanya mengenal gethuk, salah satu makanan tradisional yang terbuat dari singkong. Kalau sekarang, bahkan burger pun ada yang terbuat dari singkong.

Jangan karena hanya perbedaan cara meracik singkong, lalu kita tidak rukun dengan tetangga, atau bahkan sampai memutus tali silaturahmi dengan saudara-saudara kita sesama pecinta singkong. Bahkan, dengan orang yang memiliki selera kuliner berbeda pun, tidak sepatutnya kita saling mencela, menghujat, apalagi sampai saling menyesatkan.

Debat kusir untuk menentukan singkong terbaik memang tidak perlu kita lakukan. Yang perlu kita lakukan ialah berdiskusi dengan sehat tentang bagaimana cara mengolah singkong agar menjadi makanan yang revolusioner. Lebih bagus lagi kalau bisa menghasilkan duit.

Yang penting kita tidak merasa bahwa pemahaman kita lah yang paling benar. Lalu mengklaim bahwa kita adalah manusia yang paling mirip dengan singkong. Kecuali jika kita adalah manusia bermental singkong, atau bisa jadi kita adalah singkong itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun