Ribut-ribut soal dibaca atau tidaknya basmalah di dalam surat Al Fatihah, membuat saya rindu dengan Haji Parkesit, tetangga saya yang sudah tiga kali pergi haji dan setiap tahun berangkat umroh. Haji Parkesit sempat mengungkapkan kekesalannya dan menuding bahwa salah satu imam di kampung kami telah melakukan bid'ah ndolalah karena tidak mengeraskan suara basmalah saat membaca surat Al Fatihah.
Saya maklum, pak haji memang bukan orang yang memiliki basic kuat di bidang agama. Beliau juga tidak pernah menimba ilmu di pesantren salaf maupun pesantren modern. Tidak pula pernah kuliah di universitas Al Azhar atau universitas Umm Al-Qura.
Masyarakat memandang beliau hanya karena kebiasaannya menggunakan peci putih. Tak peduli saat sedang ke pasar, kerja bakti, main bola, dan saat jalan-jalan ke mall. Bahkan tempo hari, saat saya hendak meliput razia narkotika di salah satu hotel bintang lima, saya melihat pak haji dengan peci putihnya sedang memeluk dua gadis pemandu karaoke sembari menenggak satu botol Chivas.
Sebagai tetangga yang baik, saya tak mau nama beliau rusak di mata masyarakat. Demi menyelamatkan citra baiknya, saya memutuskan mengganggu kekhusyukan Haji Parkesit dan dua wanita seksi yang sedang memeluknya.
Ditengah alunan house music yang menusuk-nusuk gendang telinga, saya membisiki beliau. "Kalau bisa sampeyan segera pergi dari sini. Karena lima belas menit lagi, aparat gabungan dari kepolisian, TNI, dan Satpol PP akan menggelar razia. Jangan protes! Pokoknya sampeyan harus pergi dari sini!"
Entah setan apa yang merasuki Haji Parkesit, tak biasanya beliau menuruti perkataan saya. Belum sempat saya mengeluarkan rokok dari kantong celana, Haji Parkesit dan dua wanita berpakaian minim itu sudah tak lenyap dari pandangan mata. Saya tahu betul, Haji Parkesit amat takut kalau kelakuannya itu ketahuan istri ketiganya yang sangat galak.
Begitulah kelakuan Haji Parkesit. Gelar hajinya memang membuat dirinya menjadi orang terhormat di kampung kami, tapi kelakuannya ya begitu, harap maklum saja. Padahal, kata Kiai Mustofa Ali Yakub, mereka yang pergi haji lebih dari satu kali adalah haji pengabdi setan. Syaikh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani juga mengatakan bahwa orang yang setiap tahun beribadah umroh sementara tetangganya masih ada yang kelaparan adalah orang yang tertipu. Alasannya jelas, ibadah Umroh hukumnya sunnah, sementara menolong tetangga yang kesulitan hukumnya wajib. Saya mbatin, mungkin yang dimaksud oleh Kiai Ali dan Guru Sekumpul adalah manusia seperti Haji Parkesit ini.
****
Haji Parkesit tetap ngeyel dan bersikeras bahwa orang yang tidak membaca basmalah dalam Al Fatihah solatnya tidak sah. Semakin hari, Haji Parkesit semakin merasa benar sendiri. Gelar hajinya justru semakin menjerumuskannya untuk menyesatkan bahkan mengkafirkan orang lain.
Sebenarnya saya sudah mencoba memberikan pengertian dengan berbagai argumentasi panjang lebar, namun beliau masih saja ngeyel. Ia justru menuding saya sok tahu dalam persoalan agama. "Tahu apa kamu soal agama. Anak kemarin sore kok bicara agama. Memangnya kamu sudah pernah menginjakkan kaki ke tanah suci?" katanya.
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Memang repot bicara dengan manusia seperti ini. Yang membuat saya kurang sreg adalah sikap para ustadz di kampung saya yang cenderung menghindari permasalahan. Mereka lebih memilih diam dan membuat Haji Parkesit semakin merajalela dengan keyakinannya.
"Ah, rupanya Haji Parkesit cuma lihai dalam mengumpulan uang untuk pergi haji atau umroh," batin saya. "Ia sama sekali tak paham perkara khilafiyah. Lebih parah lagi, ia tak mau menerima nasehat dari orang lain."
Padahal, kalau mau sedikit teliti, imam solat di Mekkah dan Madinah juga tidak mengeraskan bacaan bismillah saat membaca  surat Al Fatihah terutama saat solat jahr, maghrib, isya, dan subuh. Bahkan, di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya mengikuti mazhab Maliki, bacaan bismillah dalam surat Al Fatihah memang tidak dibaca sama sekali.
Sempat terbesit di dalam pikiran saya, jangan-jangan beliau tidak pernah ikut solat jamaah saat berada di tanah suci. Jangan-jangan beliau kesana cuma dalam rangka plesiran sembari berburu air zam-zam, kurma Arab atau malah berburu janda Arab. Ah, saya tak boleh berprasangka buruk. Biarlah itu menjadi urusan dia dengan Allah SWT. Saya tak mau ikut campur terlalu jauh.
Saya sendiri bukan bermaksud sok tahu, atau merasa lebih paham urusan agama. Saya sadar betul, bahwa saya hanyalah seorang pemuda yang cuma pernah mondok di pesantren kilat saat bulan ramadan tiba. Saya cuma tahu sedikit tentang agama, cuma kulit-kulitnya saja.
Tapi saya terus berupaya untuk belajar, saya terus mencari ilmu, hingga saya bertemu dengan mahluk tuhan bernama khilafiyah. Dan saat ini, khilafiyah telah menjadi teman sekaligus sahabat saya. Kami begitu akrab dan saling menghormati satu sama lain. Saya yakin suatu saat khilafiyah akan menjadi kekasih saya. Ya Allah, cantik betul makhluk Tuhan bernama khilafiyah itu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H