[caption caption="Sumber Foto: Tubasmedia. Com "][/caption]Sahabat saya mengajak berdiskusi tentang budaya cari untung. Di kampung kami, yang namanya budaya cari untung memang sudah dilakukan turun temurun, dari generasi ke generasi, dari zaman Mbah Klowor kencing berdiri sampai kencing sambil tengkurep. Jadi, kalau tidak menguntungkan, jangan dilakukan. Kalau kata orang Banjar, "Paraya, kada jadi baras jua." Demikian ia memulai diskusi tersebut.
Ya, tentu saja saya setuju sekali. Saya sependapat dengan sahabat baik saya. Dalam menjalin pertemanan, yang harus diperhatikan, apakah ia menguntungkan untuk kami atau tidak.
Lebih bagus lagi kalau teman tersebut memiliki bisnis sampingan. Tak peduli itu bisnis telo godok, bisnis intip goreng, atau bisnis prostitusi, yang penting harus menguntungkan dan kami bisa mengambil keuntungan dari bisnisnya itu. Selain itu, juga harus diteliti, apakah orang tersebut memiliki bakat untuk mencopet di terminal, mencuri sandal di komplek perumahan, atau memiliki skill untuk mencuri sumber daya alam di negeri ini.
Kalau punya bakat seperti itu sih, kami oke-oke saja. Tetapi kalau tidak punya skill yang memberi keuntungan-keuntungan dari segi ekonomi, ya mohon mangap, kami tidak sudi berteman dengan Anda. Kalaupun hubungan pertemanan sudah terlanjur terjalin dengan baik, suatu saat kami akan mencari cara agar Anda pergi dari kehidupan kami. Mungkin Anda akan kami buang ke Laut Jawa, diasingkan ke Pulau Sembilan, atau ditenggelamkan ke Laut Merah.
Bagi kami, tak masalah untuk mengeluarkan biaya besar hanya untuk pergi ke Mesir. Tinggal bikin proposal, semuanya beres! Yang penting pecundang seperti Anda harus pergi sejauh-jauhnya. Opsi lainnya, mungkin dibuang ke Saranjana, sebuah kota mistik di Kalimantan Selatan yang kata Pakde Gumun, masih terhubung dengan desanya Nyi Roro Kidul di selatan Pulau Jawa.
Begitulah upaya kami dalam rangka melestarikan budaya leluhur. Kami berdua sepakat dan terus berupaya sekuat tenaga untuk melestarikan budaya ini dan menyingkirkan orang-orang tak bermutu yang tidak sepaham dengan idealisme kami. Kalau dipikir-pikir, memang asik kok. Hidup kami dihabiskan dengan menggelar berbagai macam kegiatan sosial, seni, dan budaya yang terlihat positif di mata masyarakat. Tapi sebenarnya, yaaa... harap maklum. Heuheu... "Yang penting dapur ngebul," begitu dawuh Mbah Klowor tempo hari.
Contohnya, belum lama ini kami menggelar peringatan Maulid Nabi. Di sana, kami menjadi panitianya. Dan untuk mensakseskan acara, kami minta warga kampung untuk menyumbang, minimal Rp 75 ribu. Tak usah ditanya uang itu untuk apa, yang penting, acara itu akan kami kemas sedemikian rupa, sehingga menjadi acara yang meriah dan menghibur.
Pada kesempatan lain, kami juga menjadi tuan rumah pagelaran seni dan budaya daerah. Ya, kami paham jika seni dan budaya daerah itu dianggap kuno oleh anak muda masa kini. Karena itu, kami harus cerdas dalam membuat konsep acara. Kalau terlalu kaku dengan seni budaya lokal, pasti tak ada penontonnya. Kalau tak ada penonton, darimana kami memperoleh keuntungan?
Untungnya, kami memang dilahirkan sebagai manusia-manusia yang cerdas. Akhirnya kami putuskan untuk memasukkan budaya-budaya asing kedalam event seni budaya yang kami gelar. Jika biasanya, para penari mengenakan pakaian tradisional plus make up yang serba njlimet, di event tersebut, konsep busana para penari kami buat sesimpel mungkin dengan rok mini dan baju yang amat ketat. Bahkan kalau memungkinkan, kami akan menyajikan pertunjukan tarian tanpa busana. Yang penting, penonton membludak.
Bagi kami, ini tak masalah. Toh tak ada juga orang yang berani menggugat kami. Tak ada juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau wartawan yang berani mengkritik kami. Jangankan mengkritisi, menyentil saja tak berani. Kalaupun ada pemberitaan miring, paling-paling cuma kami jawab, "Ah, sampeyan ini. Jadi orang kok bisanya cuma mengkritik. Gombale mukiyo!"
Kalaupun masih ada yang keras kepala, mereka akan kami tawarkan untuk bergabung dengan kami. Mereka akan kami berikan posisi strategis di struktur kepengurusan lembaga kami. Kami yakin mereka yang kritis itu tertarik dengan bujuk rayu ini. Apalagi kami tahu betul, mereka yang kritis itu juga tak punya pekerjaan tetap. Bisanya cuma utang sana sini, bahkan kalau kepepet, istri-istri mereka dititipkan ke tempat prostitusi terselubung di hotel kelas sendal jepit, kelas telo godok, kelas melati, sampai kelas bintang tujuh.
Ya, beginilah kami. Kami masih begitu asyik menikmati keuntungan-keuntungan yang kami dapatkan dari berbagai kegiatan yang kami gelar. Dan dalam waktu dekat, saya dan sahabat baik saya akan segera pergi ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah Umroh. Insya Allah dua tahun lagi, kami sudah dipanggil haji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H