Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Bapak Moyang Saya

14 April 2016   14:54 Diperbarui: 14 April 2016   20:24 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Bapak moyang saya. Sumber: aktual.com"][/caption]‪‪Semua orang tahu kalau saya adalah keturunan maling. Sebab bapak moyang saya memang pencuri, bahkan perampok yang amat handal. Namun, karena kelihaiannya dalam berkelit, beliau tidak pernah tersangkut masalah hukum barang sebesar upil.‬
‪Hari ini, saya putuskan untuk mencoba mewarisi mental maling bapak moyang saya. Saat warga menggelar solat Jum'at berjamaah, pelan-pelan saya curi sandal mereka. Saya pilih sandal yang paling bagus, awet, dan tahan lama. Tak ada yang tahu. Dan sepertinya, pekerjaan ini cukup menghibur meskipun sedikit menegangkan.‬

‪Kemudian saya mencuri lagi. Saya masuk ke masjid, saya masuk ke gereja, saya masuk ke kuil-kuil, saya masuk ke wihara, saya masuk ke rumah-rumah warga, saya curi seluruh harta benda yang mereka miliki, termasuk lingerie dan bra yang bergelantungan di tali jemuran. Saya curi seluruh sumber daya alam dan semua potensi yang ada. Jangankan lubang semut, lubang buaya pun saya masuki. Tapi tak masalah, toh saya paham betul bagaimana menaklukkan buaya-buaya itu.‬

‪Seorang sahabat pernah memperingatkan saya. "Jangan engkau teruskan pekerjaanmu. Itu akan merugikanmu di kemudian hari." Tapi saya bergeming. Saya teruskan pekerjaan itu, sampai suatu hari saya didatangi seorang aparat yang mencurigai pekerjaan saya. Saya paham apa maunya. Lalu saya beri ia sebuah batu berlian yang amat langka.‬

‪Ia terkesima. Ia berterima kasih kepada saya dan kemudian menyembah batu berlian pemberian saya. Belum habis batang rokok saya, datang lagi seorang aparat berpenampilan sangar dan memiliki pangkat jauh lebih tinggi dibandingkan aparat yang pertama. Ia menegur saya dan memperingatkan saya untuk tidak melakukan aksi pencurian lagi.‬ Kalau tidak, saya diancam akan diseret ke kantor polisi.

‪Saya hanya tertawa. "Jangan terlalu serius," kata saya, "Silahkan nikmati saja dulu makanan-makanan yang sudah disediakan." Ia melihat berbagai menu makanan prasmanan yang tidak akan ia temui di tempat lain, bahkan di restoran gedongan sekalipun. Setelah kenyang, saya suguhkan buah-buahan segar. Ia begitu menikmati menu makanan di rumah saya.

Saya juga memberikan dua persen saham di salah satu perusahaan saya berikan kepadanya.‬ ‪Ia begitu gembira. Ia memeluk sambil menepuk-nepuk pundak saya. Kemudian ia menyembah dan bersujud di hadapan saya sembari meminta izin untuk pulang dan memberitahukan kabar baik ini kepada anak, istri, dan keluarganya.‬

‪Lihatlah, hampir semua lini saya kuasai. Bahkan sekarang, semua orang sudah terkagum-kagum dengan kesuksesan saya. Mereka tak lagi melihat warna kulit saya, gaya berjalan, gaya berbusana, logat bicara, bahkan mereka tidak pernah lagi mempersoalkan siapa bapak moyang saya.‬

‪Seorang kiai menegur mereka. Di dalam ceramahnya, kiai itu melarang orang-orang mengultuskan saya. Menurut sang kiai, saya hanyalah seorang maling yang tak beradab, bermulut besar, berhati busuk, licik, kejam, suka mencuri sandal, mencuri keris keramat, mencuri pisau-pisau, mencuri pedang, dan mencuri pakaian dalam wanita.‬

‪Kiai itu mengatakan, "Dia orang yang merusak negeri ini dan mengambil semuanya. Semua potensi yang kita miliki." Jamaah tertawa terbahak-bahak. Sebagian dari mereka memegang perutnya karena tidak tahan dengan segala macam kelucuan itu. Sebagian lainnya berkata, "Itu kiai sinting. Dia gila dan tak bisa dipercaya."‬

‪Kiai itu rupanya pantang menyerah. Ia terus menghina dan mencela saya dengan kata-kata kotor dan semakin kotor.  Tapi saya tak peduli.

Saya perintahkan anak buah saya untuk membuat berita soal kiai itu. "Terserah, apa judulnya. Kalian lebih mengetahui. ‪Yang penting saya tidak terganggu dengan ceramah-ceramah kiai gila itu."

"Ya, dia gila. Dia kiai gila," begitu salah satu judul berita yang saya baca. Lumayan, saya jadi tenang dan bisa melanjutkan pekerjaan ini sambil menonton aksi kiai gila yang tolol dan sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun