Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Semua Hal Harus Masuk Akal

19 Maret 2016   08:42 Diperbarui: 1 Juli 2016   20:01 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Alur berpikir seperti apa? Sumber: nytimes.com"][/caption]Seorang blogger berkomentar di salah satu artikel yang menceritakan perseteruan antara Presiden Soekarno dengan pentolan The Beatles, siapa lagi kalau bukan John Winston Ono Lennon yang liberal itu. Menurut si blogger, artikel tersebut benar-benar tak rasional, tidak ilmiah, dan tidak dilengkapi dalil-dalil yang akurat. "Artikel macam apa ini. Nggak masuk akal," begitu komentarnya. Lho, memangnya semua hal yang ada di muka bumi ini harus masuk akal? Kalau begitu ya repot. Bagi saya, tak semua hal itu harus masuk akal. Termasuk perseteruan John Lennon dan Soekarno di artikel tersebut.

Pada 1960-an saat Indonesia masih dipimpin Sang Plokramator, musik-musik produksi orang barat memang dilarang masuk. Saat itu, Soekarno memang melarang masyarakat Indonesia mendengarkan musik-musik barat yang oleh presiden pertama Indonesia disebut sebagai musik ngak ngik ngok. Para pemuda yang meniru-niru gaya rambut mop top dan pakaian ala The Fab Four pun langsung dirazia aparat.

Bahkan personel Koes Bersaudara yang ketahuan menyanyikan lagu-lagu The Beatles langsung ditangkap aparat. Pokoknya tak ada ampun!

Hal inilah yang menyebabkan musik rock n roll 1960-an tidak sampai ke telinga masyarakat pelosok di Nusantara. Memang, di sejumlah daerah Pulau Jawa, seperti Bandung dan Jakarta, gaung The Beatles masih terdengar lumayan kencang. Tapi kalau digeser agak ke timur, kepopuleran Lennon Cs sudah tak terdengar. Buktinya, di Madura tak ada yang mengenal John Lennon.

Di sana, Emha Ainun Nadjib dan Sujiwo Tejo jelas lebih populer. Coba, kalau Anda sekali-sekali jalan-jalan ke Pulau Garam. Tanyakan ke komunitas pedagang sate, apakah ia kenal band dari Liverpool bernama The Beatles?

Ya. Mereka pasti tidak kenal. Padahal, kata Ahmad Dhani, The Beatles adalah band paling populer di jagat raya. Tapi ternyata Dhani salah. Buktinya, orang Madura tidak kenal The Beatles. Dan Anda jangan coba-coba menanyakan apakah mereka punya kartu tanda anggota fans club Beatlemania cabang Madura. Pasti jawabannya juga nggak ada.

"Kalau kartu anggota Banser, kami punya banyak Pak," begitu kata bapak penjual sate Madura yang biasa mangkal di perempatan.

Dari pengamatan saya selama lima tahun terakhir, selain tidak populer di Madura, The Fab Four juga tidak populer di Kalimantan Selatan. Hanya ada segelintir orang Banjar yang mengenal dan akrab dengan album-album klasik mereka. Dan kebanyakan mereka yang akrab dengan lagu-lagu The Beatles adalah mereka yang dulunya pernah kuliah di Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta.

Bicara popularitas, tak akan ada seniman yang bisa menyaingi Roma Irama di Kalimantan Selatan. Dari era jamban klasik sampai jamban modern, sang Satria Bergitar merupakan sosok paling populer di mata masyarakat Borneo.

Bahkan, di daerah ini popularitas dan elektabilitas sang legenda hidup Iwan Fals masih kalah dan belum mampu menyaingi Bang Haji. Lagu-lagu Rhoma jauh lebih akrab di telinga orang-orang perdesaan yang kesehariannya bekerja sebagai petani atau pendulang emas.

Tak usah heran, sebab lagu-lagu Bang Rhoma memang berbau Deep Purple, sementara Iwan Fals bercorak Bob Dylan yang populer pada 1960-an. Orang Banjar tentu lebih akrab dengan band hard rock asal Inggris itu daripada dengan legendaris Folk asal Amerika. Lha, kalau Iwan Fals saja masih kalah populer dari Rhoma Irama, bagaimana dengan The Beatles?

Masyarakat di Kalsel tentu lebih akrab dengan lagu Judi dibandingkan lagu Yesterday atau Hey Jude. Lagu Buta Tuli atau Ghibah tentu dianggap lebih menghentak dibandingkan lagu-lagu The Beatles bergenre rock 'n roll.

Di daerah ini, dangdut memang sudah sangat mengakar. Warga Kalsel tak akan begitu saja bisa melepaskan diri dari bayang-bayang dangdut. Bahkan anggota ormas Oi Banjarmasin sebagai basis utama fans Iwan Fals di Kalimantan Selatan memelesetkan Oi menjadi Oma Irama.

Di acara-acara hajatan perkawinan juga begitu. Tak akan ada warga lokal yang bisa meninggalkan busana dangdutnya. Tanpa dangdut, mereka seperti telanjang. Dan yang lebih khas lagi, volume sound system pasti disetel sangat kencang tanpa mempedulikan tempat duduk tamu undangan yang berada sangat dekat dari posisi sound system.

Yang saya heran, sebagian besar tamu undangan kok betah duduk berlama-lama sambil menikmati alunan lagu-lagu dangdut yang volume-nya digeber maksimal. Karena bosan, teman saya yang penggemar musik Jazz Instrumental pernah memprotes dan meminta kru sound system untuk mengurangi volume suaranya.

"Mas, tolong volume-nya dikurangi. Kalau begini terus kepala saya bisa pusing. Huh, bener-bener nggak masuk akal," protesnya.

Tapi apa lacur, permintaan teman saya ditolak mentah-mentah. Mereka bilang, volume sound system yang disetel sangat kencang itu sudah melalui kajian khusus dan penelitian ilmiah. Masyarakat Kalsel, kata dia, terbukti sangat menikmati lagu-lagu dangdut yang disetel keras sambil menunggu pasangan pengantin naik ke atas pelaminan.

"Hal seperti ini sudah menjadi tradisi masyarakat di sini. Dan yang perlu sampeyan ingat, tidak semua hal yang ada di dunia ini harus masuk akal," begitu katanya.

Hah?! Teman saya melongo. Lalu kami saling memandang. Sepertinya kami harus segera balik kanan sebelum sempat menikmati sepiring menu kuliner favorit saya, gangan waluh dan iwak karing masak asam yang disediakan di pesta pernikahan itu.[caption caption="Sumber foto: majalahpraise. com "]

[/caption] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun