Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fanatisme Para Perokok

8 Desember 2015   18:45 Diperbarui: 8 Desember 2015   19:21 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: gudangkesehatan.com "][/caption]Rasanya jengkel sekali kalau ada makhluk yang memiliki fanatisme berlebihan dengan benda bernama rokok. Saking fanatiknya, benda silinder berukuran panjang, berdiameter 10 mm dan berisi daun tembakau cacahan itu dianggap lebih sakral daripada ritual makan siang.

Saya sebagai orang yang anti rokok, merasa tergelitik kalau ada manusia yang lebih mementingkan menghisap satu batang rokok daripada mengisi perut yang sudah keroncongan.

Kalau saya sih mending segera mencari warteg terdekat daripada berlari tergopoh-gopoh mencari pedagang rokok.

Itu persis seperti teman saya. Setelah selesai makan siang ternyata rokoknya habis. Dalam kondisi yang sudah ngebet, ia bergegas pergi menuju kios rokok terdekat. Di saat genting seperti itu, penjaga kios berkata,"rokoknya habis mas".

"Wahh... Asyuu....weduuzz...jangkrik....."

Mendengar jawaban pedagang rokok seperti itu, teman saya jelas gugup setengah mati. Degub jantungnya semakin kencang. Ia semakin resah, gelisah, jengkel campur aduk jadi satu.

Saya yang dibonceng menggunakan sepeda motor cuma cengengesan saja. Mau ketawa ngakak ya nggak mungkin, takut dia tersinggung. Demi teman, ya sudah saya ketawa didalam hati saja. Hik..hik...hik...

Setelah sampai kios lainnya, ternyata sama. Kali ini tidak habis, tetapi merk rokok tersebut memang tidak dijual karena kata si penjual, rokok tersebut jarang peminatnya. Heu...

Golongan perokok seperti teman saya ini memang tidak begitu ekstrim. Mereka tetap mementingkan ritual makan siang. Tetapi resikonya ternyata lebih besar. Kalau Anda menghadapi situasi seperti ini, saya harap Anda bisa menenangkan pikiran, mengatur nafas kemudian duduk. Lalu minumlah satu gelas air putih panas yang sudah dicampur gula dan kopi.

Kesabaran juga penting. Jangan sampai karena ketidaksabaran, anda justru menggelar aksi demonstrasi sendirian di istana negara agar merk rokok favorit Anda dijual di seluruh kios di Indonesia. Wong urusan serius saja tidak semua sempat diperhatikan oleh pemerintah, apalagi cuma soal sepele seperti ini.

Yang saya tahu, memang para perokok terdiri dari beberapa golongan. Selain dua golongan ekstrim yang saya jelaskan diatas, ada juga golongan para perokok yang tetap menghormati orang yang anti rokok. Mereka tak pernah menyesatkan golongan yang anti rokok.

Jangan salah lho. Soalnya banyak perokok yang menganggap remeh orang yang tidak merokok. Kurang laki, katanya. Padahal kalau kejantanan hanya dilihat dari rokok, banci kaleng juga perokok.

Heuheu...

Golongan perokok yang lurus tidak pernah merokok di sembarang tempat. Sebelum memutuskan untuk memulai ritual merokok, mereka harus memastikan bahwa di lokasi tersebut tidak ada anak kecil, wanita hamil, orang tua lanjut usia, janda, jomblo dan anak terlantar. Lho?

Saya benar-benar salut dengan perokok seperti ini. Mereka rela menahan kecut di lidah demi memberi kesempatan orang di sekitarnya menghirup udara segar. Tidak seperti saat ngobrol dengan perokok ekstrim yang cenderung tidak toleran, saya senang sekali ngobrol dengan perokok seperti ini.

Ia mengaku tidak pernah merokok di angkutan umum khususnya di ruangan ber-AC. Pokoknya ia selalu mematuhi kawasan-kawasan dilarang merokok.

Saya jelas penasaran, kenapa kok beliau bisa begitu toleran. Kenapa tak semua perokok bisa seperti itu. Tetapi apa jawaban beliau, "kalau buang sampah saja harus pada tempatnya, merokok pun harus pada tempatnya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun