[caption caption="Ilustrasi: Kulitinta. com "][/caption]
Puja MandelaÂ
Kegaduhan politik negeri ini dari masalah saham Freeport dan pelbagai perseteruan politik yang dikemas dalam sebuah drama sinetron sudah menyita perhatian mayoritas rakyat Indonesia. Karena begitu masif-nya pemberitaan soal ini, media massa dan masyarakat seolah lupa dengan bencana kabut asap yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sekedar mengingatkan, kebakaran lahan dan hutan sejak Juli sampai Oktober 2015 sudah meluluhlantahkan sedikitnya 574 hektar lahan di Kalimantan Tengah. Dari laman Facebook Save Our Borneo, kawasan suaka alam yang terbakar seluas 92 ribu hektar, hutan lindung 97 hektar, hutan produksi 153 hektar, hutan produksi konversi 87 hektar. Itu baru di Kalteng, belum lagi di Kalsel, Pekanbaru dan sebagian wilayah Sumatera yang juga terpapar kabut asap.
Saat ini hampir tak ada lagi media massa nasional yang mengulas masalah kabut asap. Perhatian mayoritas masyarakat Indonesia tiba-tiba tertuju pada persoalan "papa minta saham".
Sebenarnya saya sudah memprediksi soal ini. Persoalan asap pasti hilang begitu saja. Kecewa? Iya, saya kecewa. Tapi ya memang begitu. Segala sesuatunya memang harus dimaklumi. Kalau anda ingin menjadi orang yang sabar di negeri ini, rumusnya adalah "maklum". Kalau kinerja pemerintah tidak maksimal, ya harap maklum.
Soal "papa minta saham?" Ah, saya kok tidak tertarik untuk ikut-kutan membicarakan kegaduhan politik negeri ini. Politik itu bukan sesuatu yang menarik bagi saya.
Politik bukan wanita seksi layaknya SPG rokok, gadis payung Moto GP, atau wanita seksi penjaja jamu gendong. Sejauh ini politik memang tak pernah menarik perhatian saya.
Dimata saya, politik juga bukan Luna Maya, Bunga Citra Lestari, Aura Kasih atau Dian Sastro Wardoyo. Kalau dianalogikan, politik justru mirip dengan artis dangdut pantura berdandan menor, berpakaian kelewat seksi dengan warna mencolok, bergoyang kesana kemari mengikuti irama tarling atau dangdut progresive. Ah benar-benar tak menarik.
Kalaupun saya terpaksa menonton pertunjukan dangdut seperti itu, saya akan menyaksikan pertunjukan dari tempat terjauh hingga suara musik terdengar lirih ditelinga saya. Saya tak pernah menikmati, saya hanya menunggu hingga pertunjukan selesai.
Saya menganggap kisruh saham Freeport tak lebih dari sebuah dagelan atau ketoprak humor yang diperankan oleh beberapa artis nasional negeri ini. Dari episode ke episode, saya kok belum merasa kagum dengan loyalitas mereka beraktin. Â Mungkin karena aktingnya terlalu kaku, kurang penjagaan, atau kurang luwes saya tidak tahu.
Yang saya tahu, dukungan rakyat Indonesia terpecah. Ada yang mendukung kubu si A, si B dan si C. Tapi seperti pertunjukan dangdut tadi, setelah drama sinetron ini selesai, penonton pulang ke rumah tanpa membawa hasil apa-apa. Yang ada cuma kepuasan sesaat. Setelah itu? Cari makan lagi buat beli beras!
Iwan Fals mengatakan, politik itu seperti udara. Dan semua orang butuh udara untuk hidup. Sayangnya tak semua udara itu sehat, semakin hari udara kita semakin tercemar karena pengerusakan lingkungan. Mungkin seperti itulah politik di Indonesia.Â
Politik di negeri ini persis seperti yang digambarkan sang legenda melalui lagunya, Asik Nggak Asik. Â Sudah tahu jagoan atau tokoh politiknya pembohong nomor satu, kok ya masih didukung habis-habisan. Kalau mendukung dapat duit sih masih mendingan. Tetapi kalau sudah mendukung dengan resiko memutus tali silaturahmi dengan teman yang memiliki pendapat berbeda, sudah silaturahmi putus, tak dapat uang pula. Ruginya dobel!
Seperti itulah politik' "Dunia politik dunia bintang, dunia pesta pora para binatang, asik nggak asik".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H