Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Imam Pilihan

28 November 2015   18:16 Diperbarui: 28 November 2015   20:00 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Puja Mandela 

Membedakan orang yang benar-benar alim dengan mereka yang alim secara otodidak memang agak sulit. Kalau ukuran kealiman cuma dari gamis, Abu Jahal juga bergamis. Kalau ukuran kealiman dinilai dari jenggot, Musailamah Al Kadzab juga berjenggot.

Siapa yang harus disalahkan ketika sebagian besar masyarakat Indonesia mengukur tingkat kealiman seseorang masih melalui asesoris seperti gamis maupun jenggot. Kalau saya mau, bisa saja setiap hari saya memakai gamis. Pergi ke kondangan pakai gamis, ke pasar pakai gamis, bahkan main futsal juga pakai gamis.

Saya tak tahu persis, sejak kapan gamis identik dengan orang alim. Mungkin saja karena gamis identik dengan bangsa Arab dan Arab terlanjur identik dengan Islam.

Ini namanya alim tingkat asesoris. Kealimannya masih sebatas asesoris saja. Kalau ada orang yang sengaja menampilkan busana seperti ini, saya yakin sebagian awam pasti tertipu. Minimal terbawa suasana, dan menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah orang yang berhati bersih.

Saya pernah bertemu dengan orang bergamis, berbolang dan memegang tasbih di tangannya. Saat itu saya sedang berdiskusi kecil dengan salah seorang tokoh di daerah ini mengenai firqah Islam yang sedang jadi tranding topic selama era kepemimpinan Presiden Jokowi. Setelah selesai menanyakan beberapa hal, eh orang yang bergamis tadi menanyakan sesuatu.

"Apa itu...?

Mungkin ia sedang menanyakan aliran apa itu, kok baru dengar?

Rupanya dia tak tahu menahu soal salah satu aliran yang dianut oleh mayoritas bangsa Iran ini. Tentu saja saya bingung. Bagaimana bisa beliau tidak tahu mengenai mazhab tersebut. Ah, aneh sekali. Tapi saya berusaha berfikir positif saja, mungkin beliau kurang belajar sejarah peradaban Islam.

Memang penampilan tak selalu merepresentasikan perilaku, apalagi isi hati seseorang. Seorang imam belum tentu alim. Apalagi status imam-nya diperoleh tanpa pengakuan dari masyarakat. Padahal pengakuan dari masyarakat itu sangat penting. Tak akan ada status imam, tanpa adanya "bai'at" dari para jamaah.

Jika didefinisikan, imam adalah pemimpin dan panutan seluruh jamaah. Segala gerak gerik, tingkah laku dan perbuatan imam otomatis akan menjadi inspirasi para jamaah. Imam juga bertanggungjawab atas segala praktik ibadah yang dipimpinnya.

Bagaimana solat jamaah bisa khusyuk kalau imam-nya dibenci oleh para jamaah. Ya sulit, minimal tak akan ada kekompakan dalam satu jamaah tersebut.

Suatu hari ada seorang bergamis yang memimpin solat maghrib berjamaah. Padahal, orang ini tidak disukai oleh sebagian jamaah solat di mushola tersebut. Sebagian jamaah menilai, imam dadakan ini belum layak dijadikan sebagai panutan di masyarakat.

Tapi ada satu kebiasaan imam yang selalu menjadi pertanyaan besar para jamaah. Si imam ini kalau membaca niat bisa dua sampai tiga kali. Bahkan dalam beberapa kesempatan, imam membaca niat solat sampai empat kali.

"Usholli...Ush...Usshh...Usholli fardhol Maghribi. Usholli fardhol Maghribi imaman lillahita'ala,"

Suatu kali si imam memimpin jamaah untuk melaksanakan solat Magrib. Seperti biasa, imam membaca niat berulang-ulang, dua sampai tiga kali. Jamaah yang sudah gerah dengan kebiasaan buruk si imam nyeletuk sambil memegang pundak imam itu.

"Woooyyyyy....!!! Baca niat itu dalam hati saja. Jangan kaya gitu. Sudah keras, salah pula. Sini saya ajari bagaimana menjadi imam yang benar,"kata salah satu jamaah dengan suara keras.

Mendapat perlakuan seperti itu si imam jelas kaget setengah mati. Ia jelas tak menyangka jamaah di belakang berani memperlakukannya seperti itu.

Singkat cerita, akhirnya si imam mundur. Dan salah satu jamaah tadi dengan sangat kesal maju menjadi imam. Jamaah yang lain langsung mengikuti saja.

"Allahuakbar,"

Wuiiiih.......... cepet dan nggak ribet. Rupanya, imam yang satu ini tidak membaca niat dengan suara keras. Yang terdengar oleh jamaah adalah suara takbiratul ihram saja. Para jamaah pun sudah sangat khusyuk mengikuti imam ini, termasuk imam yang pertama tadi. Suasana hening, tak ada suara lain kecuali suara imam yang sedang membaca surat Al Fatihah.

"Wah ini baru lumayan. Sip,"

"Nah ini baru imam idaman. Bacanya lancar, merdu. Jamaah jadi khusyuk,"

Walaupun ditengah solat, namun jamaah masih sempat menilai kualitas imam ini. Menurut mereka imam ini lebih baik daripada imam yang pertama tadi. Apalagi saat membaca Al Fatihah dengan suara keras, ternyata suaranya lumayan merdu.

Tapi apa yang terjadi, setelah selesai membaca surat Al Fatihah, para jamaah kaget bukan main. Si imam menoleh kehadapan para jamaah, tepatnya dihadapan imam yang pertama tadi. Setelah menoleh imam itu berkata, "ngene lho carane, paham...???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun