Menurut saya, sekali lagi ini cuma menurut saya. Wartawan profesional adalah salah satu cita-cita anak bangsa yang sulit terwujud. Kalaupun ada, wartawan profesional hanya tinggal batu nisan. Nyaris tak bisa ditemukan di era abad 21 ini. Ini sama mustahilnya dengan mengharap setiap liputan jurnalistik, para wartawan akan selalu dihidangi prasmanan bermutu.
Ya nggak mesti setiap liputan harus dapet prasmanan lah. Kadang-kadang nasi kotak sudah bagus. Yang lebih sering justru keripik sama air putih. Dewasa ini, pers sangat terkenal dengan undang-undang yang mengatur kebebasannya. Seperti misalnya, wartawan memiliki kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Tapi pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa.
Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya. Nggak tahu kalau di Kalimantan Selatan.
Kalau sudah begini, profesional-nya dimana? Mentok-mentoknya cuma dapat label Wartawan Semi Profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H