Mohon tunggu...
Cahyo Prayogo
Cahyo Prayogo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang ini adalah seorang penulis puisi amatir.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sebenarnya, Bisakah Manusia Eksis?

3 Mei 2015   18:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga akhirnya pagi itu datang dan nafas si perempuan tua makin sengal. Ibunya membisikkan doa-doa di sekitarnya. Adik-adiknya yang lain menangis sesengukan. Dan beberapa saat sebelum azan subuh perempuan tua itu meregang nyawa. Air mata mengalir deras dari ujung matanya.

Begitulah kisah hidup manusia yang tidak bahagia dan tidak inspiratif. Apa yang bisa dibanggakan dari kisah hidupnya. Selain berhasil merawat adik-adiknya, tak ada kisah lain yang indah. Sepanjang hidupnya ia terus-menerus menjadi korban. Waktu kecil ia hidup di gunung karena kakek dan neneknya terpaksa bersembunyi dari kejaran para penjajah. Ketika menjelang ajal ia juga terusir dari pemerintahan Indonesia sendiri.

Perempuan tua itu tidak memiliki kartu jaminan kesehatan. Ia sempat beberapa kali ditolak karena tidak ada biaya. Siapa yang mau menjamin biaya pengobatannya? Ketika diharuskan operasi yang terjadi malah tanda tangan penolakan, ketika harus masuk ICU malah tanda tangan penolakan pula. Hal lain yang lebih miris adalah ia sempat tidak bisa mengurus jaminan kesehatan karena katanya ia sudah memiliki jaminan kesehatan.

Ternyata, di kampung sana ia seharusnya mendapat jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Namanya sudah tercatat bersama dengan suaminya. Tentu orang yang mengurus hal tersebut merasa heran karena si perempuan tua tidak pernah dapat jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Apalagi, tercatat ia memiliki suami maka semakin tidak mungkin. Ke mana uang jaminan itu mengalir?

Sebenarnya, bisakah peremempuan tua ini eksis dalam hidupnya? Bisakah ia memiliki kebebasan untuk menjadi apa yang ia inginkan? Bisakah ia tidak terus-menerus menjadi korban? Bisakah ia memperoleh pendidikan, kesehatan, dan memiliki pemerintah yang perhatian padanya? Memiliki keluarga yang sanggup memenuhi segala kebutuhannya? Memiliki rumah, menikah, dan membesarkan anak-anak?

Tentu saja jawabnya adalah bisa. Jika saja ia memiliki akses pada pendidikan, kebebasan untuk memilih kariernya, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Tapi, semua itu tidak pernah ia dapatkan. Lalu, apa atau siapa yang salah? Penjajahkah yang salah karena sudah mengusir keluarganya hingga ke gunung? Pemerintahkah yang salah karena korup dan mementingkan diri sendiri tanpa peduli pada rakyatnya? Ayahkahnya yang salah karena meninggal dunia pada saat anak-anaknya masih muda? Ibunyakah yang salah karena ia hanya seorang petani biasa saja? Atau dirinyakah yang salah karena ia seorang perempuan, tidak berpunya, dan tidak berpendidikan?

Plato pernah berkata bahwa di dalam negara ideal pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus. Ia mengatakan pendidikan merupakan suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Jadi, peranan pendidikan yang utama adalah membebaskan.

Sayangnya, di negeri ini pendidikan belum menjadi fokus utama pemerintah. Memang, anggaran pendidikan pernah naik pesat, tapi anggaran itu habis hanya untuk menyejahterakan guru dan dosen saja agar mereka bisa pergi ke sekolah naik mobil. Atau buat beli UPS seharga miliaran rupiah. Apalagi, perempuan tua itu hidup di zaman pendidikan yang benar-benar masih terabaikan.

Masih banyak di negeri ini orang-orang yang hidupnya sama dengan perempuan tua itu. Orang-orang kalah yang jadi korban dalam kehidupan. Orang-orang yang tak mampu eksis sama sekali di dunia ini. Mereka tidak memiliki kebebasan dan tak mendapat pendidikan. Mereka terjajah secara sosial dan ekonomi oleh masyarakatnya sendiri dan bahkan oleh pemerintahannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun