Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Laicite" Perancis, Fanatisme adalah Candu!

31 Oktober 2020   19:56 Diperbarui: 1 November 2020   07:54 2613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal bulan Oktober, akun sosial media saya sibuk memperbincangkan serial terhits Netflix: Emily in Paris!

Serial ala Amerika ini berhasil mencuri perhatian media massa yang membahas paradoks serta stereotip orang Perancis. Inti ceritanya sangatlah sederhana mengenai kehidupan baru tokoh utama Emily di Paris.

Culture shock yang dialaminya menjadi bumbu penyegar klise-klise perbedaan budaya Amerika dan Perancis. Emily berhasil dibuat pusing tujuh keliling oleh kelakuan bangsa pemakan escargot ini. Keberhasilan film berseri ini tentu saja mengundang kritikan negatif maupun positif.

Pro dan kontra realita yang disajikan memancing perdebatan di antara keduanya. Teman-teman saya di Indonesia pun mulai menanyakan kebenaran tentang penggambaran stereotip orang Perancis di seri tersebut. Sebagai pendatang yang sudah menetap lebih dari satu dekade di Perancis, saya hanya bisa tertawa terbahak-bahak menikmati alur crita seri ini.

Ya, ceritanya memang sangat klise tapi drama ini berhasil menguak kembali memori lama saya akan tahun-tahun pertama menjajaki Perancis. Jujur saja, secara garis besar serial itu menggambarkan realita hidup para pendatang di negara ini.

Akan tetapi, namanya juga pendatang ya sudah lumrah untuk beradaptasi dan mengalami culture shock! Sangat lumrah juga kalau butuh waktu untuk bisa memahami filosofi Perancis yang terbilang kompleks.

Bagaimanapun juga begitulah Perancis, sebegitu apa adanya seperti yang tergambar di layar kaca! La France: "tu l'aimes ou tu la quittes" seperti kata mantan presiden Perancis, "Kamu cinta Perancis atau ya tinggalkan saja".

Masih di bulan yang sama ketika bahasan tentang Emily in Paris belum juga padam, Perancis kembali menjadi sorotan dunia. Sedihnya, kali ini berita duka atas tragedi penggorokan seorang guru di Sekolah publik yang ramai dibicarakan.

Memang benar ini bukan aksi teroris pertama yang terjadi di teritorial Perancis. Namun, metode barbar yang digunakan untuk mengeksekusi korban sudah melampaui batas logika pemikiran saya! Bagaimana bisa pada jaman modern seperti ini, ideologi seakan akan lebih penting daripada hidup itu sendiri.

Nyawa manusia seperti gratisan saja, bisa hilang seketika hanya karena masalah perbedaan pikiran.

Perancis menganut laicite sebagai dasar falsafah negara mereka. Secara hukum, laicite lahir secara resmi pada tahun 1905. Pengertian laicite itu sendiri menyangkut pemisahan negara dari segala unsur ataupun pengaruh keagamaan.

Tujuannya adalah menjaga kenetralan identitas baik di ruang publik maupun di intitusi negara. Kenetralan untuk menanggalkan identitas maupun simbol keagamaan merupakan salah bentuk dari semboyan egalite (persamaan) ala Perancis. Namun, rumusan kenetralan ini yang seringkali sulit dipahami oleh orang luar.

Singkatnya, Perancis tidak mengizinkan identitas keagamaan dibawa ke ranah umum ataupun institusi negara. Agama dan kepercayaan dianggap milik ranah pribadi setiap individu. Maka dari itu layaknya hal yang pribadi sudah sewajarnya agama disimpan di ruang pribadi masing-masing saja.

Sekolah umum di Perancis pun tidak memasukkan pelajaran agama ke dalam agenda kurikulum mereka. Asal mula tragedi Samuel Paty berawal dari pengajaran materi moral dan sipil. Mungkin saat itu ketidakberuntungan atau kenaifan sang guru yang membawanya ke malapetaka. Sang guru mengambil contoh karikatur majalah satir Charlie Hebdo yang ternyata menyinggung sekelompok golongan tertentu.

Sebagai guru sejarah dan geografi, saat itu beliau bertugas memberikan ruang debat kepada siswanya untuk bebas berpendapat mengenai blasphemy. Kontestasi atas peristiwa itu ditandai dengan beredarnya video yang menghujat aksi sang guru dan menyerukan "Fatwa Mati" sebagai harga yang harus dibayar!

Kalau sudah begini siapa biang kerok dari malapetaka ini? Apakah pantas ketidaksamaan ideologi diselasaikan dengan penghabisan nyawa seseorang?

Kalau mau dirunut lagi ke belakang, fatwa mati akan blasphemy bukanlah hal yang baru. Ayatollah Khomeini pernah mendeklarasikan fatwa mati terhadap penulis novel "Satanic Verses" Salman Rushdie pada tahun 1989.

Panggilan untuk menghabisi nyawa sang penulis menjadi hal yang wajar dilontarkan atas nama blasphemy. Blasphemy yang berasal dari bahasa latin "blasphemia" secara harafiah bermakna penghujatan, pemfitnahan. Namun dengan berjalannya waktu pengertian kata ini bertransformasi dikaitkan dengan ranah keagamaan.

Blasphemy didefinisikan pada abad ke 16 oleh teolog asal Spanyol Francisco Surez sebagai "kata-kata kutukan, celaan, atau rasa tidak hormat yang diucapkan terhadap Tuhan".

Mengacu kepada pengertian tersebut, beberapa negara mulai  mengadopsi hukum anti blasphemy walaupun batasan blasphemy itu sendiri terkadang sangat subjektif. Kalau saja pengertian kata blasphemy tidak bertransformasi serta meruncing terhadap suatu persoalan, mungkin segala tragedi teroris yang mengatasnamakan blasphemy bisa dianggap sebagai hal yang tabu.

Berbicara tentang sejarah, Perancis sendiri telah mengalami perjalanan panjang terbelenggu oleh institusi agama dan kekuasaan mutlak para raja. Revolusi Perancis melahirkan negara yang berdemokrasi dan berlandaskan laicite. Kalau sudah berjuang sampai di titik ini, apakah mungkin mundur lagi ke belakang lalu mengubah falsafah mereka?

Sumber: mesopinions.com
Sumber: mesopinions.com
Di masa lalu pun Perancis sudah pernah mengalami kasus penyiksaan dan eksekusi atas dasar penistaan agama. Chevalier de La Barre (1746-1766) dipenggal dan dibakar karena tidak menghormati upacara keagamaan.

Sejak tahun 1791 tidak ada lagi pelanggaran hukum atas nama blasphemy. Deklarasi HAM tahun 1789 dan hukum kebebasan Pers 1881 menjamin kebebasan berekspresi, berpikir yang dianut oleh bangsa Perancis.

Pencemaran nama baik, penghinaan, atau hasutan untuk diskriminasi kebencian atau kekerasan, mencegah atau menyerang kelompok atau individual menjalankan kepercayaannya merupakan batasan kebebasan berekspresi ala Perancis.

Pelanggaran terhadap nilai-nilai itulah yang akan menuai sangsi hukum. Kritikan terhadap ideologi dan doktrin termasuk agama  sama sekali tidak menyalahi kebebasan berekspresi secara hukum.

Majalah satir Charlie Hebdo sudah pernah mengalami aksi barbar para ekstremis pada tahun 2015 yang mengatasnamakan blasphemy. Pada zaman modern ini Perancis seperti diharuskan untuk mengerti definisi blasphemy dan batasan kebebasan berpikir dari sudut pandang sekelompok ekstremis.

Sampai di sini, siapa yang harus mengerti dan dimengerti? Bagaimana bisa kebebasan pers yang dilindungin secara hukum bisa menuai malapetaka? Pemikiran untuk bisa menertawakan segala hal dengan humor menjadi bumerang bagi pemilik ideologi itu sendiri.

Menurut saya, batasan etika dan moral menjadi subjektif tergantung kepada kepekaan masing-masing individu. Hasil seni yang satir ini sebenarnya menyimpan sebuah pesan kalau pembaca siap menanggalkan identitasnya.

Tersurat pesan kepada pembaca untuk tidak terlalu ekstrem atau fanatis akan sebuah ideologi atau doktrin. Charlie Hebdo beranggapan kalau semua masalah bisa dibicarakan dengan humor dengan menanggalkan identitas, budaya, kepentingan masing-masing individu maka dunia akan berjalan damai. Sesungguhnya itulah kebenaran yang ingin sampaikan melalui karikatur mereka.

Sayangnya kebenaran yang dianut Charlie Hebdo tidak dapat dimengerti oleh sebagian kelompok individu. Akan tetapi apakah wajar ketidakselarasan akan kebenaran itu harus berujung kepada kekerasan dan pemusnahan?

Ya itu mungkin yang dipikirkan oleh para penganut aliran radikal. Jebakan terbesar yang saya khawatirkan setelah rentetat teroris ini adalah lahirnya kesalahpahaman. Jikalau manusia hanya akan mencari kambing hitam saja dari sebuah permasalahan, malah bukan menguraikan akar permasalahannya.

Kalau diri ini tidak bijak menyingkapi efek domino atas aksi teroris, mungkin suatu hari kita bisa juga terjebak ke dalam pemikiran radikal dan ektrimis. Imbas besar dari aksi teroris di benua Eropa telah mempercepat kemunculan partai politik ekstrem kanan bergaya di ranah politik.

Seperti yang kita ketahui partai ini sangat mendiskreditkan ras dan agama. Pemikiran radikal ini yang justru dapat memecah belah masyarakat modern sehingga menyebabkan kemunculan krisis identitas. Rasisme sebagai agenda utama politisi partai ekstrem kanan seyogianya lebih mengerikan daripada sekedar karikatur majalah satir itu sendiri. 

Rasanya hidup di negara modern dengan rasisme terhadap ras dan agama sudah menandakan kemunduran zaman! Kalau kaum ekstremis kanan memakai isu agama sebagai momok kedaulatan negara Perancis, mungkin perihal kartun ala Charlie Hebdo tidak akan menjadi sorotan utama lagi. Karena tidak akan adalagi keberagaman budaya di Perancis.

Sampai di sini apakah karikatur menjadi lebih penting daripada hakikat hidup manusia itu sendiri?

Mungkin kalau saya bisa mengaitkan falsafah persamaan negara ini dengan pemikiran filosof besarnya, saya memilih eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Bagi sebagian orang paham ini seringkali dikaitkan dengan Atheisme yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan.

Padahal kalau mau ditelaah lebih jauh, pemikiran eksistensialisme itu sendiri berbeda dari Atheisme. Paham ini berasumsi seandainya Tuhan itu nyata adanya maka Ia itu tidak ada kaitannya dengan semua kejadian yang terjadi di dunia ini! Manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan keputusan mereka.

Berdiri di atas kebenaran versi ini, manusia menjadi pelaku utama atas semua kejadian di dunia. Humanisme akan menjadi alasan utama manusia mengambil keputusan untuk bertindak. Mereka tidak akan lagi mengatasnamakan Tuhan sebagai alasan utama atas perbuatan mereka.

Seandainya manusia memakai logika ini, mungkin keributan berkedok agama menjadi hal yang tidak wajar. Karena untuk apa meributkan sesuatu yang yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dunia ini.

Berangkat dari pengertian filosofi Sartre, laicite, dan keagamaan sebagai ranah pribadi sejatinya akan lebih mudah dipahami. Hubungan kebatinan manusia dengan Tuhan mungkin akan menjadi lebih intim dan mesra.

Lalu, siapa yang akan menderita? tentu saja partai politik dan golongan yang tidak bisa lagi menunggangi agama di atas kepentingan pribadinya! Dengan begitu waktu dan tempat saya persilahkan untuk mereka yang hanya bisa gigit jari saja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun