Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Laicite" Perancis, Fanatisme adalah Candu!

31 Oktober 2020   19:56 Diperbarui: 1 November 2020   07:54 2613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mesopinions.com

Tujuannya adalah menjaga kenetralan identitas baik di ruang publik maupun di intitusi negara. Kenetralan untuk menanggalkan identitas maupun simbol keagamaan merupakan salah bentuk dari semboyan egalite (persamaan) ala Perancis. Namun, rumusan kenetralan ini yang seringkali sulit dipahami oleh orang luar.

Singkatnya, Perancis tidak mengizinkan identitas keagamaan dibawa ke ranah umum ataupun institusi negara. Agama dan kepercayaan dianggap milik ranah pribadi setiap individu. Maka dari itu layaknya hal yang pribadi sudah sewajarnya agama disimpan di ruang pribadi masing-masing saja.

Sekolah umum di Perancis pun tidak memasukkan pelajaran agama ke dalam agenda kurikulum mereka. Asal mula tragedi Samuel Paty berawal dari pengajaran materi moral dan sipil. Mungkin saat itu ketidakberuntungan atau kenaifan sang guru yang membawanya ke malapetaka. Sang guru mengambil contoh karikatur majalah satir Charlie Hebdo yang ternyata menyinggung sekelompok golongan tertentu.

Sebagai guru sejarah dan geografi, saat itu beliau bertugas memberikan ruang debat kepada siswanya untuk bebas berpendapat mengenai blasphemy. Kontestasi atas peristiwa itu ditandai dengan beredarnya video yang menghujat aksi sang guru dan menyerukan "Fatwa Mati" sebagai harga yang harus dibayar!

Kalau sudah begini siapa biang kerok dari malapetaka ini? Apakah pantas ketidaksamaan ideologi diselasaikan dengan penghabisan nyawa seseorang?

Kalau mau dirunut lagi ke belakang, fatwa mati akan blasphemy bukanlah hal yang baru. Ayatollah Khomeini pernah mendeklarasikan fatwa mati terhadap penulis novel "Satanic Verses" Salman Rushdie pada tahun 1989.

Panggilan untuk menghabisi nyawa sang penulis menjadi hal yang wajar dilontarkan atas nama blasphemy. Blasphemy yang berasal dari bahasa latin "blasphemia" secara harafiah bermakna penghujatan, pemfitnahan. Namun dengan berjalannya waktu pengertian kata ini bertransformasi dikaitkan dengan ranah keagamaan.

Blasphemy didefinisikan pada abad ke 16 oleh teolog asal Spanyol Francisco Surez sebagai "kata-kata kutukan, celaan, atau rasa tidak hormat yang diucapkan terhadap Tuhan".

Mengacu kepada pengertian tersebut, beberapa negara mulai  mengadopsi hukum anti blasphemy walaupun batasan blasphemy itu sendiri terkadang sangat subjektif. Kalau saja pengertian kata blasphemy tidak bertransformasi serta meruncing terhadap suatu persoalan, mungkin segala tragedi teroris yang mengatasnamakan blasphemy bisa dianggap sebagai hal yang tabu.

Berbicara tentang sejarah, Perancis sendiri telah mengalami perjalanan panjang terbelenggu oleh institusi agama dan kekuasaan mutlak para raja. Revolusi Perancis melahirkan negara yang berdemokrasi dan berlandaskan laicite. Kalau sudah berjuang sampai di titik ini, apakah mungkin mundur lagi ke belakang lalu mengubah falsafah mereka?

Sumber: mesopinions.com
Sumber: mesopinions.com
Di masa lalu pun Perancis sudah pernah mengalami kasus penyiksaan dan eksekusi atas dasar penistaan agama. Chevalier de La Barre (1746-1766) dipenggal dan dibakar karena tidak menghormati upacara keagamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun