Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Minimalis cikal bakal Idealis?

28 September 2020   19:40 Diperbarui: 3 November 2020   03:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Economics are the method; the object is to change the heart and soul .

(Margaret Thatcher)

Siapa sangka kutipan dari seorang Margaret Thatcher yang sesederhana itu, dampaknya tidak seminimalis kalimatnya. Ekonomi yang notabenenya adalah sebuah metode telah berhasil mengganti peran hati dan jiwa para manusia modern. 

Revolusi Industri yang dirintis pada awal abad ke18 telah berhasil memberikan stigma baru ke dalam perekonomian dunia. Inggris  menjadi pelopor sejarah manusia berevolusi, pada zaman ini tenaga manusia sudah bukanlah generator utama perekonomian. 

Mesin mesin industrial secara perlahan menggantikan peran utama manusia. Perkembangan teknologi yang bertumbuh dengan pesat merubah konsep industri rumahan menjadi industri partai besar. 

Berkat kerja keras sebuah mesin yang menggantikan kerja keras tenaga manusia, industri masa kini dapat membuahkan hasil akhir yang berlipat ganda. Kecepatan mesin yang luar biasa tentu saja memberikan peluang inovasi bagi para pemegang industri untuk berkarya. Harga sebuah produk dari mesin industri massal sudah pasti jauh lebih bersahabat dibandingkan hasil produk industri rumahan.

Revolusi industri mencetak gebrakan baru dalam gaya hidup manusia berkonsumsi. Bukan hanya trend konsumsi massal yang mulai merajalela, namun penyeragaman selera pasarpun berhasil dicetak lewat revolusi ini.

Hasil produksi pabrik dalam jumlah partai besar membuka gerbang globalisasi produk. Dunia export-import merajalela menguasai pergerakan barang. 

Setelah Perang Dunia berakhir, perekonomian di negara Eropa dan Amerika mulai membaik. Lalu, industri melihat peluang besar ini untuk berlomba lomba berinovasi demi memukau para konsumen dunia barat.

Mesin mesin industri massal bekerja tanpa henti untuk memuaskan daya beli konsumen. 

Trend Westernisasi mulai muncul pada awal abad ke 20 dimana  negara timur mulai mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan. Amerika serikat dan Eropa berhasil menancapkan gaya hidup ala  mereka melalui soft power yang terbungkus dalam industri makanan, industri fashion dan industri film. 

Penyamarataan selera pasar seperti ini secara tidak langsung menguntungkan industrial partai besar. Ibaratnya, produk massal yang mereka hasilkan berhasil dikonsumsi secara massal juga diberbagai belahan dunia. 

Terdapat stigma bahwa manusia pada zaman itu menyebut dirinya sah sebagai manusia modern kalau sudah menkonsumsi produk industri. Seperti yang digambarkan oleh Samuel Huntington dalam buku The clash of Civilisation and the Remaking World .

"Becoming a modern society is about industrialization, urbanization, and rising levels of literacy, education, and wealth".

Industrialisasi menjadi simbol keberhasilan sebuah negara menuju modernisasi massal. Industri rumahan sudah tidak menjadi bagian dari industri yang harus dilindungi. Menjadi buruh pabrik adalah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. 

Prinsip economie of scale industri massal ;  semakin banyak barang yang diproduksi, otomatis harga barang menjadi lebih murah. Melalui logika seperti ini, prinsip "asal harga murah" membuat konsumer tidak lagi mengindahkan barang sesuai fungsinya.  Kalau dulu, orang membeli barang karena kebutuhan fungsional barang itu sendiri. 

Saat ini, kegiatan berbelanja bukan lagi karena kebutuhan akan sebuah barang namun sebagai aktifitas plesiran. Membeli sesuatu bukan lagi karena kebutuhan tetapi lebih kepada kata hati yang berbisik "kapan lagi bisa dapat harga semurah ini". 

Dengan pemikiran seperti ini, tidak heran kalau sekarang kita cenderung memiliki banyak barang dengan fungsi yang hampir sama. 

Terkadang kita bisa membeli barang dengan fungsi yang sama dalam kemasan yang berbeda. Alhasil, akan ada banyak barang menumpuk di rumah.  Dan kenyataannya barang barang tersebut berubah fungsi menjadi barang pajangan.

Pada akhirnya pola hidup konsumsi massal mencapai titik jenuhnya bagi sebagian orang. Fenomena gerakan minimalispun lahir untuk melawan arus!  Sebenarnya minimalis itu sendiri terkenal dalam dunia seni lukis pada tahun 50 an. Minimalis dalam artian Kamus Besar Bahasa Indonesia  ; berkenaan dengan penggunaan unsur-unsur yang sederhana dan terbatas untuk mendapatkan efek atau kesan yang terbaik. 

Maka dari itu dalam dunia seni rupa, karya minimalis cenderung menonjolkan garis harmoni yang sederhana. Lalu, bagaimana dengan gerakan minimalis yang menjadi gaya hidup? Ya, sesuai dengan kata itu sendiri, hidup dalam kesederhanaan. 

Tujuan utama dari gerakan ini adalah meminimalisirkan kepemilikan barang guna menonjolkan fungsi barang itu sendiri. Jadi, prinsip mereka mensortir barang yang tidak membawa fungsi penting dikehidupan sehari-hari. 

Kalau mau dikaitkan dengan dunia filosofi, Stoik dan Epikur bisa juga dikatakan filosof minimalis. Mereka berpedoman untuk dapat meminimalisirkan masalah maka kita harus bisa menekan  keinginanan. 

Keinginan akan kepemilikan bisa menjadi contohnya. Kedua filosof asal Yunani ini beranggapan bahwa keinginan yang berlebihan mungkin saja bisa menimbulkan sebuah masalah.  Maka dari itu sebaiknya manusia bisa dengan lebih bijak menekan keinginan keinginannya. Prinsip ini bisa juga diaplikasikan kedalam kehidupan sehari hari.

Prinsip minimalis bisa menjadi pengerem dan pengontrol hidup kita sebelum bertindak. Dengan menerapkan konsep kesederhanaan, sudah pasti segala sesuatu yang berlebihan akan terlihat seperti sebuah "racun" dipikiran kita. 

Algoritme yang mondar mandir menyajikan iklan sesuai selera kita pada akhirnya hanya akan menjadi bacaan lewat saja.Di era ini, dimana semua gerak gerik kita diawasi oleh penguasa internet dan kawanannya. Tentu saja, godaan akan semakin besar dan hati ini akan lebih mudah tergoda  untuk membeli sesuatu. Akan tetapi jikalau prinsip minimalis ini sudah diterapkan menjadi gaya hidup, maka keinginan berbelanja yang impulsive tidak akan terlintas lagi dibenak kita.  

Singkat kata gerakan minimalis menawarkan sisi lain dari relasi kita terhadap barang. Dengan sedikit barang yang kita miliki, hubungan emosional kita terhadap barang tersebut akan semakin berharga. 

Kita akan lebih menghargai barang yang kita punya dan penggunaannya akan menjadi lebih berhati-hati. Bonusnya, tempat pembuangan akhir di planet  kita ini tidak membludak terisi oleh barang-barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya dengan alasan bosan.

Mengadopsi gaya hidup minimalis itu sendiri bukan hanya sebatas kepemilikan barang saja. Hubungan relasi terhadap sesama juga bisa dibicarakan secara sederhana. 

Sederhana disini yang saya maksud adalah memiliki relasi yang berkualitas daripada kuantitas. Social media memang sudah membantu kita untuk menemukan teman lama yang telah hilang bertahun tahun. 

Euphoria memiliki banyak teman seringkali tergambarkan oleh betapa popularnya hidup seseorang! Apakah pemikiran ini salah? Tidak ada yang salah dengan pemikiran ini, namun saya hanya ingin memberikan sisi lain dari "minimalis" ala pertemanan saja. Di zaman modern ini, saya merasa manusia cenderung lebih nyaman berteman di dunia maya daripada dunia nyata.  Fasilitas teknologi semakin memudahkan hidup manusia untuk terkoneksi kedunia maya nun jauh disana. Rutinitas yang terkadang tidak menyisakan waktu untuk menjaga sebuah hubungan menjadi terselamatkan oleh social media

Berkat social media kita dapat melihat cerita hidup seorang teman, gebetan atau keluarga. Dan terkadang kita merasa cukup dekat dan tahu tentang hidup orang lain. Namun apakah semua yang ditampilkan didunia maya secara gamblang adalah kenyataan yang sebenarnya? . Sebuah pertanyaan besar!

Ironisnya kehadiran sosial media membuat Quality time bersama teman atau keluarga terkadang menjadi hal yang basa basi saja.Bagi saya sosial media bukan hanya menjauhkan yang dekat tapi juga menambah jarak kualitas pertemanan. Jadi mana yang lebih penting kuantitas atau kualitas? Bagi saya untuk apa memiliki kuantitas pertemanan, toh itu hanyalah sebuah angka saja. 

Konstat saya sampai hari ini, Seiring dengan pilihan yang selalu berinovasi dan bervariasi.Keinginan untuk memiliki barang atau menambah jumlah jam terbang di social media terkadang tidak bisa dihindari. Padahal tidak ada yang salah dengan hidup yang terkadang memang harus berjeda.

Mungkin hidup akan terasa berkualitas kalau relasi terhadap barang dan sesama manusia seyogianya cukup berangkat dari sebuah kesederhanaan saja!

Bagaimana kalau sesekali kita rehat sejenak, merenungkan bahwa hidup berkualitaspun sehat untuk jiwa. Toh hidup hanya sekali, untuk apa selalu berlari?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun