Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tertawakan Saja Hidup Ini", Kata Joker!

24 November 2019   00:17 Diperbarui: 3 November 2020   04:30 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup dan canda, apakah dua kata ini bisa bersimbiosis secara seimbang? Jikalau canda bisa membuat hidup lebih hidup. Sudah selayaknya komedi menjadi bagian dari hidup ini! Namun, bagaimana kalau komedi yang seharusnya membahagiakan, ternyata malah menjerumuskan? Menjerumuskan seseorang menjadi berpura-pura, seakan tegar tapi sedih, kuat tapi lemah ataupun bahagia tapi menderita. 

Saya prihatin terhadap nasib Joker, perasaan saya berhasil tercabik-cabik oleh jalan cerita film Box Office ini! Dahulu, saya pernah tergila-gila dengan Joker di saat saya aktif mengadu strategi lewat kartu remi. Dan di lain sisi, saya juga sebal dengan kegilaan Joker sebagai tokoh antagonis di berbagai film. 

Tetapi, film Joker yang saya lihat kali ini sangat berbeda. Film ini menyajikan cerita yang tidak bisa hanya numpang lewat saja tanpa meninggalkan kesan. Saya melihat Joker kali ini sebagai gambaran dari realita hidup yang sebenarnya. Semua tragedi yang tergambar di film itu memang bukanlah hal yang baru lagi.

Kehidupan Joker di film ini hanyalah persoalan nasib bagi orang yang percaya kekuasaan Sang Pencipta dan persoalan kebetulan teruntuk kalangan yang lain. Suatu scene yang masih membekas di ingatan saya : ketika sang tokoh utama melihat diri sendiri di depan kaca sembari tertawa menghapus gincu merahnya. 

Penggambaran tawa ini sangat abstrak, bahagia, sedih, luka, puas dan kegilaan bercampur aduk menjadi satu, sebagai orang yang memang menyadari bahwa dia memiliki kelainan jiwa. Kesadaran moral yang dimilikinya ini membuat dia mengerti kekurangannya. Ia pun menyadari bahwa hidupnya harus selalu dikontrol oleh obat-obatan demi kesinambungan koneksi syaraf di otaknya. 

Sampai- sampai dia memiliki kartu disabilitas yang selalu ia bawa ke mana saja. Tindakan pencegahan untuk orang di luaran sana yang bisa saja menghakiminya jikalau dia tertawa lepas tak terkontrol. Kesimpulan saya sampai di sini bahwa Joker itu pada dasarnya bukanlah orang yang jahat.

Penggambaran tokoh Joker di awal cerita bak layaknya orang normal kemudian berubah 180 derajat. Ujung tombak dari rentetatan permasalahan bermula dari pemberian senjata oleh rekan kerjanya. Senjata yang bisa bebas dimiliki oleh semua warga negara Amerika memang mengundang banyak kontroversi. 

Terlepas dari sejarah dan budaya Amerika, saya sangsi kalau orang waras akan sangat bijak menggunakan senjata api. Manusia pada dasarnya memiliki insting untuk membela diri, bukan? Otak kita ini sudah terlanjur merekam kebiasaan-kebiasaan manusia primitif yang berburu demi menghidupi hidup, dan juga membela diri ketika ada marabahaya. 

Lalu, bisakah manusia, berhadapan langsung dengan sejata api dan selalu bersikap sebijaksana mungkin dengan tidak menggunakannya ketika hidupnya terancam bahaya? Kontradiksi yang berkecamuk di benak manusia sangatlah rumit : pertentangan antara insting alami primitifnya dan batasan moral yang ada di masyarakat. Jadi, apa yang harus didahulukan?

Sigmund Freud menyatakan "Budaya yang kita miliki mengambil andil yang cukup besar atas kesengsaraan kita" dijelaskan dalam bukunya Le Malaise dans la culture. 

Tuntutan culture secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga : keindahan, kebersihan, dan aturan. Kalau mau masuk ke dalam sistem masyarakat dan diakui keberadaannya, ya manusia harus mematuhi ketiga hal ini. Ikuti aturan yang berlaku, jikalau menyimpang dari pakemnya maka kamu bukan lagi bagian dari masyarakat. Bisa jadi kamu dikucilkan sebagai manusia aneh! Keindahan pun menjadi patokan sebuah penilaian yang bagus atau tidak bagus. 

Kalau berbicara keindahan secara fisik, hal ini bisa dilihat dari klinik-klinik kecantikan yang menjamur demi mengejar keindahan yang berstandar nasional atau internasional. Imej manusia sempurna secara fisik menjadi nilai lebih yang bisa dikomersilkan. Tuntutan culture yang ketiga adalah kebersihan yang dimulai dari kebersihan diri sendiri. 

Freud bersikeras bahwa bisa jadi manusia mengalami gangguan mental dalam hidupnya dikarenakan oleh semua tuntutan idealis dari sebuah culture. Serta semua peraturan yang diterapkan di masyarakat. Kebebasan individu terancam oleh semua tuntutan peraturan yang tercipta dari perkembangan budaya ini. 

Freud menyebut manusia pada saat ini adalah manusia budaya, jauh bertolakbelakang dengan manusia yang sesungguhnya. Sebelum manusia dicekoki oleh budaya termasuk agama, ketika bencana menghampiri hidupnya, ia bisa saja memukuli patung sesajennya sebagai hukuman karena dia tidak menjalankan tugasnya dengan benar. 

Namun, pada hari ini dengan semua akal logika yang terbentuk karena culture, manusia menukar sisi kekerasan ini dengan perasaan bersalah, iming-iming takut akan aturan luar.

Pertentangan diri yang dirasakan Joker sampai di titik dia bisa membunuh orang dan tidak merasa bersalah cukup menjadi pertanyaan besar bagi saya. Tercatat sebagai penderita Schizophrenia, Joker memang harus mengkomsumsi obat secara permanen demi mencegah pikiran- pikiran liarnya yang tidak terkontrol.

Namun, ketika dia membunuh korbannya, apakah fungsi otaknya sedang tidak berjalan sewajarnya akibat dari dosis obat yang tidak bekerja? Atau memang dorongan naluri primitif dia yang keluar dalam keadaan terhimpit oleh bahaya? Seperti selayaknya manusia yang sewajarnya memiliki naluri tersebut namun terhalang oleh rasa bersalah! Jikalau memang Joker itu gila, mengapa dia bisa memilih korban kegilaannya ini? 

Seharusnya orang gila tidak pilih-pilih dalam beraksi, pukul rata untuk semua orang! Kesadisan Joker di film ini tergambar ketika dia menghabisi nyawa ibunya yang terbaring lunglai di rumah sakit. Tentu saja kalau dilihat dari sisi orang luar, tindakan ini sangatlah keji, namun apakah lagi-lagi Joker hanya berpikir menghukum orang yang telah membuat hidupnya menderita? 

Ibu angkatnya, sumber utama dari kronologis tragedi-tragedi yang dia alami. Dikarenakan kelainan jiwa sang Ibu, masa kecil Joker penuh dengan kekerasan dan ia dibesarkan di dalam dunia orang sakit mental. Kembali lagi ke pernyataan saya di awal, ini persoalan nasib atau kebetulan saja? Sungguh kasihan hidup Joker ini!

Cita-cita Joker untuk menjadi stand up comedian terjawab sudah dengan sukses melalui film ini. Ia berhasil menampilkan sisi komedi hidup yang sesungguhnya, di saat masyarakat mengesampingkan orang-orang yang berbeda dari standar normal. Dan pada akhirnya orang-orang tersebutlah yang akan memberontak ketika terhimpit. 

Orang-orang seperti Joker tidak bisa mendapat tempat di masyarakat karena tidak memenuhi standar culture. Dunia ini memaksa orang untuk menjadi seragam sesuai standar hidup yang dianggap normal. Satu kalimat terlontar oleh Joker yang menggambarkan ironisnya keadaan dunia "nasib para gelandangan yang mati di jalan tidak dipedulikan, sedangkan korban orang-orang berkerah putih yang saya tembak menjadi bahasan penting". 

Memang benar, di dunia ini hanya orang-orang yang memenuhi tiga standar budaya itulah yang bisa dianggap di masyarakat. Mungkin saja Joker menjawab teori Freud bahwasanya dia sudah merasa muak oleh tuntutan peraturan di masyarakat serta para manusia budaya ini. 

Dan mungkin saja culture memang salah satu nara sumber penyebab kesedihan sebagian masyarakat modern tanpa disadari. Kalau sudah begitu, mari kita tertawakan saja hidup ini!!!

~P~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun