Aku lahir dari rahim sepasang mata yang telah mengandungku begitu lama, bukan sehari, atau sebelah saja dan bahkan terlelap keduanya. Tatapannya begitu genap. Meski dimata orang-orang yang mengelilingnya, aku adalah sebuah keganjilan. Aneh katanya.
Cinta? Mungkin karena sepasang mata itulah yang menjatuhkan setangkai tubuhku dari genggaman matanya ke dasar perigi perasaannya. Hingga cinta itu begitu tumbuh subur di pikirannya.
Benci? Dari keruhnya hatilah sehingga gelapkan mata mulai memusuhi segala gerak-geriknya. Termasuk aku yang sedang menjadi matahari di sepanjang malamnya. Tapi yang sepasang matanya lihat hanya bintang pujaannya atau rembulan yang selalu membenarkan perkataannya. Lalu nanti aku tinggal di mana?
Aku bahkan bisa gelap kapan saja, dibutakan cinta dan benci sehingga logika pamit membenamkan cahaya matahari telalu pagi. Tapi beruntungnya kau lain, bila memandang benci hanya kepada perbuatan buruknya saja. Tidak manusianya. Sementara aku selalu melahirkan cinta dengan taqwa. Kekal selamanya.
Kau adalah mata dan aku mataharimu. Sepertinya kau dan aku hanya butuh menjadi sepasang kita untuk menatap masa depan yang cerah.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H