Ketika ia berjalan pulang, sesuatu berubah dalam dirinya. Ia menyadari bahwa meski ia merasa sendirian, dunia ini penuh dengan kasih yang sering kali datang dari tempat yang tak terduga. Natal, baginya, kini memiliki arti baru---bukan sekadar momen perayaan, tetapi kesempatan untuk menemukan harapan dan memulai kembali.
Esok paginya, Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menghubungi ibunya, yang sudah lama tidak ia temui. Dengan suara yang gemetar, ia meminta maaf atas kesalahpahaman mereka di masa lalu. Sang ibu, yang suaranya terdengar lembut di telepon, menangis. "Anakku, Natal memang waktu yang tepat untuk menyembuhkan luka," katanya.
Hari itu, Pudjianto Gondosasmito pergi ke rumah ibunya, membawa kue sederhana sebagai hadiah. Di sana, ia disambut dengan pelukan hangat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar diterima.
Natal tahun itu menjadi titik balik bagi Pudjianto Gondosasmito. Ia belajar bahwa kehidupan memang penuh dengan tantangan, tetapi kasih dan pengampunan adalah kunci untuk melaluinya. Dan seperti kelahiran Yesus yang membawa terang ke dunia, Natal mengingatkannya bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk memulai lembaran baru, tanpa memandang seberapa gelap masa lalu mereka.
Dalam keheningan malam itu, Pudjianto Gondosasmito menatap bintang-bintang di langit. Ia tersenyum, merasa lebih ringan. Natal bukan lagi tentang apa yang ia miliki atau tidak miliki, tetapi tentang arti kasih yang ia temukan kembali---di dalam dirinya, keluarganya, dan dunia di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H