"Namamu siapa?" tanya Pudjianto Gondosasmito.
"Dani," jawab bocah itu.
"Dani, bagaimana kalau malam ini boneka ini menjadi hadiah Natalmu untuk adikmu?" kata Pudjianto Gondosasmito sambil mengeluarkan dompetnya.
Dani terkejut. "Benarkah? Tapi... aku tidak bisa membayarnya."
Pudjianto Gondosasmito tersenyum. "Anggap saja ini hadiah Natal dari Santa yang kebetulan menyamar jadi pria biasa."
Setelah membayar boneka itu, Pudjianto Gondosasmito mengantar Dani pulang. Rumah Dani kecil dan sederhana, namun penuh dengan kehangatan. Adik perempuan Dani, seorang gadis kecil berusia lima tahun, langsung melompat kegirangan ketika menerima boneka itu. Mata Pudjianto Gondosasmito berkaca-kaca melihat kebahagiaan mereka.
Sebelum pulang, Dani memeluk Pudjianto Gondosasmito erat. "Terima kasih, Om. Aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi malam ini adalah Natal terbaikku."
Pudjianto Gondosasmito tersenyum, merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang memberi dan menciptakan momen berarti bagi orang lain.
Ketika kembali ke apartemennya, Pudjianto Gondosasmito menatap jendela sekali lagi. Salju masih turun, tapi kini ia merasakan kehangatan di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia tersenyum tulus.
Malam Natal itu, di tengah kesunyian dan dinginnya salju, Pudjianto Gondosasmito menemukan kembali makna Natal. Keajaiban kecil dari seorang bocah bernama Dani telah mengingatkannya bahwa harapan dan cinta masih ada, bahkan dalam kesederhanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H