Mohon tunggu...
pudjianto gondosasmito
pudjianto gondosasmito Mohon Tunggu... Konsultan - URIP IKU URUP

Pudjianto Gondosasmito Temukan saya di https://www.pudjiantogondosasmito.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pudjianto Gondosasmito dan Perjalanan Secangkir Kopi

26 November 2024   23:39 Diperbarui: 26 November 2024   23:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito. Ia adalah seorang penulis lepas, tetapi bukan penulis biasa. Setiap cerita yang ia tulis, setiap kata yang ia rangkai, terlahir dari aroma dan rasa secangkir kopi. Pudjianto Gondosasmito percaya bahwa kopi memiliki jiwa---jiwa yang membisikkan inspirasi kepada siapa saja yang mau mendengarkannya.

Setiap pagi, ia duduk di sebuah kafe kecil bernama "Seduhan Hati," milik seorang teman lama bernama Pak Gani. Kafe itu sederhana, hanya beberapa meja kayu dengan kursi rotan yang sudah sedikit usang. Tapi, bagi Pudjianto Gondosasmito, tempat itu adalah surga. Di sudut ruangan, ada meja favoritnya yang menghadap jendela besar, memberikan pemandangan langsung ke arah jalan setapak berbatu yang dipenuhi pohon flamboyan.

Suatu pagi yang cerah, Pudjianto Gondosasmito memesan secangkir kopi hitam seperti biasanya. Ketika cangkir itu tiba di mejanya, ia mencium aromanya dalam-dalam, mencoba menangkap cerita apa yang akan datang hari itu. Namun anehnya, hari itu ia merasa kosong. Tidak ada kata-kata yang mengalir, tidak ada ide yang muncul. Ia menatap keluar jendela, berharap pemandangan alam bisa memberikan inspirasi.

Saat itulah seorang wanita masuk ke dalam kafe. Ia mengenakan mantel cokelat muda, rambut hitamnya tergerai, dan di tangannya ada sebuah buku lusuh. Pudjianto Gondosasmito, yang biasanya tenggelam dalam dunianya sendiri, tidak bisa mengalihkan pandangannya. Wanita itu memesan cappuccino dan memilih duduk di meja dekat pintu. Ia membuka bukunya, tampak tenggelam dalam setiap halaman.

Pudjianto Gondosasmito merasa ada sesuatu yang berbeda pada wanita itu. Ada semacam kehangatan, namun juga kesedihan yang samar-samar terpancar dari tatapannya. Ia penasaran, tetapi ia tidak berani mendekat.

Hari-hari berlalu, dan wanita itu---yang belakangan diketahui bernama Hana---menjadi pelanggan tetap kafe. Setiap kali ia datang, ia membawa buku yang berbeda dan selalu duduk di tempat yang sama. Pudjianto Gondosasmito merasa ada pola yang ia amati: setiap buku yang dibaca Hana seolah mencerminkan suasana hatinya. Jika bukunya ringan, Hana tersenyum lebih sering. Jika bukunya kelam, ia lebih sering termenung.

Suatu hari, Pak Gani mendekati Pudjianto Gondosasmito yang sedang mengetik di laptopnya.

"Kamu memperhatikan Hana terus, ya?" tanya Pak Gani dengan nada menggoda.

Pudjianto Gondosasmito terkejut, lalu tersenyum canggung. "Ah, bukan begitu. Dia... menarik, hanya itu."

"Kalau tertarik, kenapa nggak coba ngobrol? Siapa tahu kamu dapat cerita baru untuk ditulis," saran Pak Gani.

Keesokan harinya, Pudjianto Gondosasmito memberanikan diri. Saat Hana selesai memesan kopi, ia mendekati meja wanita itu.

"Permisi, bolehkah saya bergabung?" tanya Pudjianto Gondosasmito dengan hati-hati.

Hana menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Tentu."

Obrolan mereka dimulai dari hal-hal ringan: buku, kopi, hingga kota kecil tempat mereka tinggal. Ternyata, Hana adalah seorang ilustrator yang sedang mencari inspirasi untuk proyek barunya. Mereka pun berbagi cerita tentang pekerjaan mereka yang sama-sama mengandalkan kreativitas. Semakin lama mereka berbicara, semakin Pudjianto Gondosasmito merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyum Hana.

Pada suatu malam, setelah kafe tutup, Hana mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. Ia sedang menjalani perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri setelah kehilangan tunangannya setahun lalu dalam kecelakaan mobil. Ia mengaku bahwa membaca buku-buku itu adalah caranya untuk melarikan diri dari rasa sakit.

Pudjianto Gondosasmito mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak menyela, hanya menyuguhkan secangkir kopi hitam yang ia buat sendiri di dapur kecil kafe. "Kadang," kata Pudjianto Gondosasmito, "kopi pahit pun punya rasa yang indah, sama seperti hidup. Semua tergantung bagaimana kita menikmatinya."

Hana terdiam, lalu tersenyum kecil. "Mungkin kamu benar."

Seiring waktu, Pudjianto Gondosasmito dan Hana menjadi lebih dekat. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan dan proses penyembuhan masing-masing. Pudjianto Gondosasmito mulai menulis cerita baru, sebuah kisah tentang seorang wanita yang menemukan kembali makna hidupnya melalui secangkir kopi dan seorang pria yang mengerti bagaimana mendengarkan.

Cerita itu menjadi karya terbaik Pudjianto Gondosasmito. Dan anehnya, ia tidak merasa cerita itu sepenuhnya fiksi.

Di akhir cerita, Hana memutuskan untuk menetap di kota kecil itu, membuka studio ilustrasi kecil di samping kafe Pak Gani. Keduanya melanjutkan hidup, bersama-sama menciptakan kisah baru, ditemani aroma kopi yang selalu setia menjadi saksi perjalanan mereka.

Akhir cerita ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru---karena seperti kopi, kehidupan selalu meninggalkan rasa yang ingin dinikmati lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun