Di sebuah kota yang tak pernah tidur, ada seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito yang memutuskan untuk keluar pada Malam Sabtu itu. Setelah seminggu penuh dengan rutinitas yang melelahkan di kantor, ia merasa perlu untuk menyegarkan pikirannya, mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk kota.Â
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan udara malam yang sejuk memberi kesan berbeda dibandingkan dengan terik siang hari.
Pudjianto Gondosasmito berjalan perlahan di sepanjang trotoar yang ramai, dikelilingi oleh gemerlap lampu neon dari kafe, restoran, dan toko-toko kecil. Suara musik yang diputar dari berbagai tempat menarik perhatian, menciptakan suasana yang penuh energi.Â
Dia menoleh ke kiri dan kanan, melihat orang-orang yang menikmati malam mereka, ada yang sedang berjalan berdua, ada juga yang duduk-duduk di bangku taman sambil mengobrol.
Namun, meski keramaian di sekitarnya, Pudjianto Gondosasmito merasa sedikit terasing. Ia merasa kesepian, meskipun banyak orang di sekelilingnya. Pikirannya melayang, mengenang masa-masa lalu yang penuh kenangan manis dan pahit, tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya namun kini sudah menjadi bagian dari masa lalu.
"Kenapa aku merasa sendiri meski dikelilingi banyak orang?" pikirnya dalam hati.
Pudjianto Gondosasmito tidak tahu jawabannya. Dia terus berjalan, tidak ada tujuan yang pasti. Hanya ingin berjalan, menikmati setiap detik malam itu. Dia melewati kafe yang ramai dengan pengunjung yang tampak asyik bercakap-cakap.Â
Bau kopi yang kuat menyambut hidungnya, membuatnya tersenyum kecil. Pudjianto Gondosasmito sering mengunjungi kafe ini bersama teman-temannya, namun malam ini, dia datang sendiri.
Di dekatnya, ada sebuah buku yang tergeletak di atas meja luar kafe. Sebuah buku yang sudah terbuka di halaman tengah, dibiarkan begitu saja. Pudjianto Gondosasmito berhenti sejenak, memeriksa buku tersebut. Judulnya "Cinta di Ujung Waktu". Entah kenapa, ia merasa tertarik. Mungkin karena ada sedikit rasa penasaran tentang bagaimana orang lain bisa mengungkapkan perasaan melalui kata-kata.
"Apakah aku sudah lupa bagaimana rasanya mencintai?" Pudjianto Gondosasmito bergumam pelan.
Tanpa berpikir panjang, dia mengambil buku itu dan melanjutkan langkahnya. Dia tidak tahu kenapa, tapi entah bagaimana buku itu terasa seperti sebuah petunjuk, sebuah pesan yang sedang menunggunya untuk dibaca.