Siang itu, di sebuah taman kecil yang tersembunyi di antara deretan gedung perkantoran, seorang pria duduk di bangku kayu yang teduh. Namanya Pudjianto Gondosasmito, seorang pekerja pengantar paket yang sudah hampir empat tahun mengarungi jalanan kota demi mengantarkan paket ke pelanggan yang berbeda-beda. Hari itu adalah hari Rabu, dan Pudjianto Gondosasmito baru saja menyelesaikan pengantaran ke-30 di sekitar daerah Sudirman.
Matahari terik memanggang, membuat jaket kerjanya terasa lebih berat dari biasanya. Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk sejenak berhenti dan melepas lelah. Di dalam tasnya, tersisa beberapa paket lagi yang harus diantar sebelum jam lima sore, tapi ia masih punya sedikit waktu untuk beristirahat.
Dengan setengah hati, Pudjianto Gondosasmito menatap ponsel di tangannya, memeriksa pesan dari rekan-rekan kerjanya di grup kantor. Beberapa dari mereka bercanda tentang pelanggan yang sering menanyakan "Posisinya di mana?" dan "Masih jauh, ya?". Hal-hal kecil ini membuat Pudjianto Gondosasmito tersenyum dan sedikit melupakan lelahnya.
Dari bangku taman itu, Pudjianto Gondosasmito mengeluarkan sebotol air yang disimpannya sejak pagi dan meneguknya perlahan. Ia menatap jalanan ramai yang berhadapan langsung dengan taman. Beberapa orang berlalu-lalang, tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.Â
Di sebelahnya, ada seorang bapak tua yang sedang memberi makan burung-burung kecil dengan remah-remah roti. Burung-burung itu beterbangan di sekitarnya, membuat suasana taman terasa hidup.
Pudjianto Gondosasmito tersenyum kecil sambil mengingat saat ia baru mulai bekerja. Dulu, ia kerap kali merasa pekerjaan ini melelahkan, harus bertemu pelanggan yang kadang kurang sabar, menembus kemacetan, dan menanggung berat tas yang penuh paket setiap harinya.Â
Tapi, seiring waktu, ia mulai menikmati ritme pekerjaannya. Baginya, mengantar paket lebih dari sekadar pekerjaan. Ia sering kali menjadi saksi senyum kebahagiaan para pelanggan saat menerima kiriman, mulai dari hadiah ulang tahun, pesanan belanja online, hingga dokumen-dokumen penting.
Suara lonceng sepeda membuyarkan lamunannya. Seorang anak kecil melintas, tertawa-tawa bersama ibunya. Anak itu memegang sebuah kotak yang dihias pita merah. Mungkin hadiah, pikir Pudjianto Gondosasmito. Hal kecil seperti itu sering membuatnya merenung bahwa setiap paket yang ia antar mungkin memiliki makna lebih dari sekadar barang.
Waktu istirahatnya tak lama, dan sebentar lagi ia harus melanjutkan perjalanan. Pudjianto Gondosasmito merapikan tasnya, meneguk sisa air, lalu berdiri dari bangku kayu yang telah menjadi tempatnya bernaung dari panas matahari. Ia menatap peta rute yang harus ia tempuh selanjutnya di layar ponselnya, menarik napas panjang, dan kembali bergegas.
Hari masih panjang, tapi dengan perasaan yang lebih ringan setelah melepas lelah di taman, Pudjianto Gondosasmito merasa siap untuk menyelesaikan tugasnya. Di dalam tasnya, masih ada beberapa paket yang harus segera diantar kepada pemiliknya, dan ia tahu bahwa dirinya hanyalah perantara, pembawa kabar baik yang ditunggu-tunggu.
Dengan langkah mantap, Pudjianto Gondosasmito kembali berjalan menuju motornya, meninggalkan bangku taman yang kini kosong dan burung-burung yang masih asyik mencari remah-remah roti.