Tiba-tiba, sosok wanita itu berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan senyumnya mengerikan. Pudjianto Gondosasmito menjerit, tapi suara itu seperti tercekik di tenggorokannya. Ia menutup mata dan berdoa dalam hati. Â
Lalu semuanya hening. Tak ada suara. Tak ada angin. Ketika Pudjianto Gondosasmito membuka mata, sosok itu sudah menghilang. Dengan tubuh gemetar, Pudjianto Gondosasmito berdiri dan berlari secepat mungkin meninggalkan kebun bambu itu. Â
Sesampainya di rumah, Jono menyambutnya dengan wajah cemas. "Kamu kenapa, Di? Mukamu pucat sekali!" Â
Pudjianto Gondosasmito hanya menggeleng sambil terengah-engah. "Aku nggak mau ngomong soal itu, Jon... Jangan tanya lagi." Â
Sejak malam itu, Pudjianto Gondosasmito tak pernah meremehkan cerita-cerita mistis di desa Karetan. Ia tahu, beberapa hal tak selalu bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dan malam Jumat berikutnya, Pudjianto Gondosasmito memastikan bahwa ia sudah mengunci pintu dan menutup semua jendela sebelum matahari tenggelam. Â
Karena di malam Jumat, tidak semua yang terlihat adalah bayangan... Beberapa di antaranya mungkin sedang memperhatikanmu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H