Oleh : Pudji Widodo
Lampu-lampu kota Dili tampak makin jelas menegaskan garis pantai ketika KRI Biak-594 telah berada 2 nm dari pelabuhan. Jarum jam tanganku menunjuk 20.30, sebentar lagi kapal berjenis Landing Craft Utility (LCU) ini akan merapat di dermaga. Mengapa waktu cepat berlalu keluhku.
Keluh yang berbaur dengan sejumput bahagia, jadi apa namanya? Tak terkatakan, tapi bisa kurasakan. Dua hari kebersamaanku bersama Joan dalam bakti sosial di Pulau Atauro, membuatku tak ingin baksos segera berakhir.
Baksos yang dilaksanakan Lanal Dili dalam rangka memperingati Hari Dharma Samudera 15 Januari 1999. Untuk kegiatan ini Lanal Dili dibantu personel Satgas Kesehatan Puskes TNI Â dan unsur kesehatan satuan samping. Joan yang bertugas di Puskesmas di Liquisa sengaja mengambil hak cutinya di tahun 1998 pada Januari 1999 agar dapat membantuku.
Ini tahun kedua Joan bertugas di Kabupaten Liquisa. Dia memilih Bumi Lorosae sebagai daerah wajib kerja dokter program Depkes RI. Sebuah pilihan yang relatif berani bagi seorang dokter perempuan di tengah ekskalasi perlawanan kelompok antiintegrasi Timor Timur.
Keluar dari rutinitas tugas pangkalan dan berbaur dengan teman-teman seprofesi dalam temu ilmiah, penting bagiku untuk mengikuti perkembangan iptek kedokteran. Acara ilmiah yang digelar IDI setahun yang lalu telah mempertemukan kami. Rasanya ada kecocokan dan tumbuh alamiah saling keterikatan di antara aku dan Joan.
*************
Setengah jam dibutuhkan untuk proses KRI Biak-594 memantai dan merapat ke dermaga. Tak lama kemudian rampa haluan kapal telah terbuka. Satu persatu personel pendukung baksos bergerak meninggalkan kapal.
Mobil-mobil dinas berjajar di dermaga. Termasuk ambulan dari Puskesmas Becora yang akan menjemput Joan. Selama di Dili, Joan menginap di rumah dinas Kepala Puskesmas Becora.
"Titip salam hormat dan terima kasih untuk Kapuskesmas. Surat ucapan terima kasih dari angkatan laut untuk Kadinkes Liquisa segera dikirim." Kataku sambil merengkuh bahu Joan.
"Pak Valen terima kasih ya, titip Bu dokter".
"Sama-sama Pak dok, beres. Terima kasih sudah ajak saya ke Atauro" balas perawat Valentino yang sudah berstatus PNS. Aku membalas lambaian tangan Joan dan Pak Valentino ketika ambulannya bergerak meninggalkan dermaga.
Di depan rampa kapal, Bintara Perbekalan Sertu Megantoro menyongsongku.
"Arahan dok bagaimana material kita?"
"Sesuai rencana, debarkasi besok, korve setelah apel pagi." Jelasku singkat.
Rencana debarkasi material besok pagi kusampaikan kepada Komandan KRI Biak-594 Kapten Warsito. Maksudku agar anggota bisa kembali ke mess untuk istirahat. Hanya tinggal material pendukung milik Lanal, karena sembako dari Dinsos, alat-alat olahraga dan bahan kontak peralatan sekolah sumbangan dari Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) telah terdistribusi habis untuk masyarakat Pulau Atauro.
Menurutku masyarakat P. Atauro menyambut baik baksos hari Darma Samudera. Meskipun demikian apakah ini berhasil merebut dan memenangkan hati masyarakat, sebagaimana tujuan kegiatan sesuai perintah komando atas. Kegiatan civic action semakin sering dilakukan setelah Presiden Habibi mengajukan opsi otonomi luas pada 9 Juni 1998.
Aku tak yakin apakah kita berhasil memperkuat posisi prointegrasi, bagiku yang penting perintah atasan telah kulaksanakan. Yang mengejutkan bagi kami para prajurit, dua minggu setelah baksos, pada 27 Januari 1999, Presiden Habibi bersurat ke PBB mengusulkan rencana jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur.
Usai baksos, beberapa kali Joan sempat turun ke Dili. Sebagai dokter sipil, mobilitas Joan lebih leluasa dibanding aku. Beribadah di Gereja Motael, menikmati nasi goreng mbak Nanik di kawasan Becora, menikmati pasir putih pantai Hera dan mengunjungi kawasan patung Kristus Raja adalah agenda kebersamaan kami. Atau bila tidak kemana-mana, cukup di mess dokter RSUD lalu rame-rame masak dan bakar ikan.
Namun bukan berarti aku tak pernah mengunjungi Joan di Liquisa. Beberapa kali aku sempat menumpang mobil Mas Hindarto, seorang kontraktor asal Semarang ke Liquisa. Meskipun nilai proyeknya semakin kecil, tapi Mas Hindarto tetap sering hilir mudik Dili-Liquisa. Di Liquisa dengan sepeda motor inventaris proyek Mas Hindarto, aku bisa mengunjugi Joan. Dari Mas Hindarto pula aku mengetahui banyak para pengusaha sudah mulai menggeser asetnya ke Kupang Timor Barat.
Kunjunganku ke Liquisa meneguhkan kebersamaanku dengan Joan. Bersama merajut rencana masa depan termasuk keinginan melanjutkan pendidikan spesialis, Joan berminat pada bidang  pediatri.Â
Ketika menyertai evakuasi medis seorang prajurit ke Surabaya, aku sempatkan berkunjung ke Magelang menghadap orang tua Joan untuk memperkenalkan diri.
*********
Awal Pebruari 1999, terbit telegram mutasi ke Jakarta untukku. Beruntung tiga bulan sebelumnya, Komandan Lanal dengan bijak meneruskan permohonanku dan menindaklanjuti dengan pengusulan diriku mengikuti pendidikan lanjutan spesialis perwira. Dengan demikian di satuan baru nanti, aku tidak perlu mengajukan permohonan lagi.
Kabar gembira itu segera kusampaikan kepada Joan. Aku mendorong agar Joan mengajukan cuti ke Jawa. Maksudku bila dokter pangkalan penggantiku datang, kami bisa bersama-sama ke Jawa dan minta ijin orang tua agar kami bisa melaksanakan pertunangan. Semuanya tentu saja kemudian kami komunikasikan kepada orang tua.
Awal Maret 1999, dengan kapal Pelni KM Dobonsolo kami berdua kembali ke Jawa. Beberapa sejawat dokter dan penggantiku dr. Bagus, mengantar kami di dermaga pelabuhan Dili. Perkembangan kebijakan pusat tentang status Timor Timur dan situasi lokal sempat kami perbincangkan. Dokter Novi bahkan bergurau " Nggak usyah balik ke sini lagi Joan".
Semua serba cepat, begitu pula pertunangan kami. Dalam suasana sederhana, yang penting tujuan terlaksana. Keluarga mendukung dan memutuskan bulan Agustus kami akan menikah. Lalu Joan pun segera kembali ke daerah tugasnya.
Ketika mengantar Joan ke bandara Juanda, ada yang lucu rasanya. Biasanya isteri atau calon isteri mengantar suami, kini terbalik aku yang tinggal di Surabaya, dan calon isteri berangkat ke wilayah daerah operasi militer yang situasinya tak menentu. Aneh, bukan aku yang memberi penguatan, justru Joan yang serasa tanpa beban berkata lirih "semuanya akan baik-baik saja Theo".
Setelah melewati detektor metal, Joan masih sempat memalingkan wajah, tersenyum dan melambaikan tangan.
*******
Joan kembali ke Timor Timur yang situasinya menurutku sedikit banyaknya juga tersulut bara reformasi di Jakarta. Kehadiran ormas pamswakarsa binaan aparat keamanan untuk mengimbangi agresifitas kelompok prokemerdekaan, semakin memicu konflik horizontal di bumi Lorosae. Joan mengabarkan semakin banyak terdapat pos-pos pemeriksaan, yang selain dijaga tentara juga diperkuat personel pamswakarsa.
Sejauh ini tidak ada kesulitan bagi Joan dengan ambulannya melintas pos penjagaan tersebut. Sebaliknya kekhawatiranku terhadap keselamatan Joan semakin besar. Di benakku terbayang sekelompok laki-laki yang membawa parang dan cangkul, yang sulit dibedakan apakah mereka benar-benar petani yang melintas jalan raya pulang dari kebun ataukah kelompok klandestin yang mengincar kelemahan pos-pos aparat keamanan.
Pada paruh pertama dekade 90-an, kasus kekerasan yang dilakukan Falintil relatif mereda karena berubahnya pola perjuangan lebih mengutamakan protes atau demonstrasi umum di perkotaan. Hal ini tentu semakin menarik perhatian internasional.Â
Namun antara 1996 dan 1998 terjadi kembali lonjakan kekerasan yang dilakukan oleh Falintil, bukan hanya di bagian timur seperti pada tahun 1980-an, tetapi merata baik sektor timur maupun barat. Beberapa hari sebelum pemilihan umum Mei 1997, anggota klandestin, bersama Falintil, melancarkan serangan yang berani terhadap kompleks Brimob di Bairo Pite, Dili <1> .
Hingga awal Juni, ketika tiba waktunya Joan akan mengakhiri masa tugasnya, dr. Novi meneleponku. "Theo, sudah dua hari Joan meninggalkan puskesmas dan belum kembali." Ambulan yang ditumpangi Joan ditemukan di poros jalan Liquisa - Dili, sedang Ciprianus pengemudinya juga tidak diketahui keberadaannya.
Mungkin sasaran utama adalah Ciprianus, sedang Joan menjadi korban ikutan. Ciprianus yang menjadi pegawai pemerintah dianggap kolaborator yang menghambat kemerdekaan. Suatu bentuk teror bagi warga lokal yang prointegrasi.
Sejak itu Joan pun tidak pernah diketahui, hilang dalam tugas. Kasus hilangnya Joan kurang mendapat perhatian. Beban aparat sudah terlalu berat untuk mengamankan serah terima kekuasaan dengan PBB dan repatriasi.
Rupanya senyum dan lambaian tangan Joan di bandara Juanda adalah yang terakhir untukku.
Pudji Widodo,
Jogyakarta, 070122 (94).
Sumber : [1]
Keterangan :
a. Debarkasi : penurunan penumpang dan muatan dari kapal
b. Korve : kerja bakti untuk meningkatkan kebersihan, kerapihan dan kenyamanan lingkungan kesatrian atau pangkalan.
b. nm : nautica mile
Catatan : Cerita ini hanya fiksi belaka, jika terdapat kesamaan foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, hal tersebut adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H