Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jadilah Pelaut, Bukan Sekadar Jongos di Kapal

10 Desember 2021   04:39 Diperbarui: 10 Desember 2021   08:48 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi adegan kesenian ludruk, sumber: henrinurahyo.wordpress.com 30/3/2011

Belenggu mental jongos

Tulisan saya kali ini diawali dengan ilustrasi foto adegan pertunjukan kesenian tradisional Ludruk. Foto tersebut saya unduh dari tulisan Henri Nurcahyo berjudul "Ludruk yang (tidak) Membosankan".

Dari tiga orang yang terlibat dalam adegan di panggung ludruk tersebut, seorang diantaranya berperan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Seorang perempuan yang duduk di lantai bertumpu pada lututnya dengan kain serbet di bahunya, itulah yang berperan sebagai PRT.

Panggung ludruk pada masa remaja saya di Surabaya, sering menampilkan adegan interaksi antara tuan atau nyonya majikan dengan pembantu rumah tangga, pelayan, bedinde atau babu dan jongos atau kacung.

Peran pembantu rumah tangga juga sering ditampilkan oleh grup drama komedi Srimulat di televisi. Freddy Aris adalah pemeran Gepeng, tokoh jongos dalam grup Srimulat yang populer dengan ucapannya "Untung ada saya."

Kosa kata babu dan jongos yang sudah ada sejak jaman kolonial tersebut kini hampir tidak pernah digunakan lagi. Kata jongos dan babu kemudian diganti "Bibi", "Mbak", Pembantu Rumah Tangga dan Asisten Rumah Tangga (ART).

Sebagai pengakuan atas bentuk upaya mencari nafkah yang secara formal terlindungi hak-haknya, maka kini para aktifis pekerja migran menganjurkan agar digunakan istilah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini untuk menghapus makna negatif yang tersemat pada kata pembantu dan mendorong pemerintah mengakui sebagai jenis pekerjaan.<2> .

Nasip jongos dan buruh perkebunan di jaman kolonial menjadi materi naskah pembelaan Soekarno ketika diadili di Bandung pada tahun 1930. Sejarah mencatat bahwa jongos bukan hanya menggambarkan status sosial individu, namun juga martabat suatu bangsa. Sebuah istilah yang menurut Soekarno menempatkan Indonesia terpuruk dalam status yang subordinat di mata bangsa lain. 

Presiden Soekarno juga menyinggung soal jongos dalam pidatonya saat meresmikan berdirinya Institut Angkatan Laut (IAL, kini Akademi Angkatan Laut-AAL) pada 10 Oktober 1951. Saat itu Presiden Soekarno menyatakan : . ".......Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya,...bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi JONGOS-JONGOS di KAPAL, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai ARMADA MILITER, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri...." (Info Historia, 2018 : 65)<3>

Pidato Presiden Soekarno seakan menyingkap masa lalu adanya jongos-jongos yang mengabdi dalam rumah tangga keluarga Belanda, pelayan kantor-kantor pemerintah dan perusahaan kolonial serta buruh perkebunan yang tetap melarat, sementara ekspor perkebunan membuat kolonialis kaya raya. 

Harapan yang disampaikan kepada para kadet IAL merupakan pengulangan narasi yang disusunnya dalam Indonesia Menggugat, sebagai pembelaan dalam sidang pengadilan di Bandung pada tahun 1930. 

Soekarno tidak mau bangsanya menjadi korban dari situasi di mana : "imperalisme modern membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh dalam pergaulan bangsa-bangsa." <4>.

Soekarno menekankan hal tesebut karena tidak mudah untuk mewujudkan kemandirian berkaitan dengan mental sebagai bangsa yang lama hidup terjajah bangsa lain. Oleh karena itu, dalam pidatonya yang visioner di IAL, Soekarno ingin menjadikan Indonesia dalam tata pergaulan antar bangsa mampu menunjukkan penguasaan atas potensi maritim yang besar dan menjadi modal dalam pembangunan bangsa. 

Pesan Soekarno pun dimaknai bahwa Indonesia yang realtif baru sebagai negara merdeka memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas diantaranya pada bidang maritim. Insan maritim yang memiliki karakter nasional yang mampu keluar dari belenggu mental jongos alias kacung bangsa lain.

Refleksi Armada RI 1959

Selain membenahi kualitas sumber daya manusia melalui pendirian lembaga pendidikan Angkatan Laut, pada kurun waktu antara 1950 hingga 1959 mulai dilaksanakan program modernisasi alutsista Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). 

Sebagai negara baru sedasawarsa, Indonesia berani mencanangkan program spektakuler untuk mewujudkan pertahanan laut yang tangguh dan modern serta disegani. Kebutuhan adanya armada ALRI yang modern semakin besar bersama dengan dilaksanakan kampanye pembebasan Irian Barat, sesuai amanat Trikora yang dikumandangkan Presiden Soekarno. 

Pada akhir 1959, ALRI telah memiliki kemampuan yang meliputi peperangan atas air, permukaan dan bawah permukaan serta serta proyeksi kekuatan dari laut ke darat. Pada tanggal 5 Desember 1959 resmi berdiri Armada ALRI dan selanjutnya diperingati sebagai Hari Armada RI. 

Berkaitan dengan dinamika lingkungan strategis maka terdapat tiga hal yaitu penguasaan teknologi alutsista mutakhir, jumlah kapal perang yang seimbang dengan luas wilayah serta organisasi armada yang efektif merupakan kebutuhan yang tak terhidarkan.

Dinamika tersebut melahirkan organisasi yang terus berubah dari Komando Armada Samudera dan Komando Armada Nusantara, Eskader Barat dan Eskader Timur ALRI dan selanjutnya Komando Armada RI Kawasan Timur dan Barat TNI AL. 

Selanjutnya sejak 2018 Armada RI yang semula terdiri dari dua komando armada kawasan telah  dikembangkan menjadi tiga armada bernomor. Komando Armada III sebagai Kotama TNI AL terbaru berkedudukan di Sorong.

Alasan pengembangan Armada RI diungkapkan kembali oleh Kasal Laksamana TNI Yudo Margono pada peringatan Hari Armada 2021. Armada RI adalah tulang punggung kembalinya kejayaan maritim. Untuk itu, Armada RI sebagai Pengawal Samudera harus mampu menunjukkan kekuatan yang menggentarkan lawan maupun kawan, terlebih pihak-pihak yang berniat merongrong kepentingan negara di laut <5>.

Kapal Cepat Rudal (KCR) KRI Kapak 625 yang diresmikan Menhan Prabowo Subianto, sumber: kompas.com, 7/12/2021
Kapal Cepat Rudal (KCR) KRI Kapak 625 yang diresmikan Menhan Prabowo Subianto, sumber: kompas.com, 7/12/2021

Pada sisi penguasan teknologi pertahanan, TNI AL telah mengimplementasikan prinsip kemandirian nasional. Tepat pada Hari Armada RI, 5 Desember 2021, Menhan Prabowo Subianto meresmikan peluncuran Kapal Cepat Rudal KRI Kapak 625. Kapal Cepal Rudal (KCR) 60 m merupakan kapal KCR kelima produksi PT PAL untuk TNI AL <6>.Kehadiran KCR 60m produksi PT PAL melengkapi alutsista hasil industri pertahanan dalam negeri dalam 5 tahun terakhir ini.

Adapun alutsista TNI AL yang dikembangkan di dalam negeri melalui konsep alih teknologi diantaranya adalah Fregat Perusak Kawal Rudal (PKR) kelas RE Martadinata, Kapal Selam kelas KRI Nagapasa dan kapal amfibi jenis Landing Platform Dock (LPD) KRI Semarang dan KRI dr. Wahidin Sudirohusodo,. Selain itu sejak tahun 2018, TNI AL telah menerima 9 kapal Landing Ship Tank (LST) kelas KRI Teluk Bintuni yang dapat mengangkut Tank Leopard TNI AD dan tank BMP-3F Korps Marinir.

Kemandirian industri pertahanan

Kemandirian industri pertahanan itu menjadi jawaban bagi Indonesia yang pernah mengalami embargo senjata terkait dugaan pelanggaran HAM pada operasi militer di Timor Timur. Indonesia juga pernah mengalami resistensi negara produsen atas penggunaan pesawat Hawk dan Tank Scorpion pada operasi militer di Aceh. 

Tentu kita tidak ingin mengalami kembali pembatasan penggunaan alutsista, karena akan semakin menyulitkan Indonesia di tengah berkembangnya potensi ancaman kawasan.

Modernisasi alutsista sering juga mendapat kritik terkait prioritas kesejahteraan dan alasan tidak ada ancaman perang bagi Indonesia. Tentu kepentingan kesejahteraan masyarakat harus tetap menjadi perhatian melalui pembangunan berbagai bidang maupun upaya menekan jumlah warga miskin. 

Namun bukan berarti menjaga kemampuan pertahanan tidak menjadi prioritas. Setidaknya di kawasan regional, agar anggaran pertahanan Indonesia bukan yang terendah dibanding negara tetangga.

Berbagai persoalan yang membelit pembangunan kesejahteraan, tanpa kita sadari telah menempatkan posisi prajurit pada risiko menjadi korban musibah akibat alutsista tua. Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 menyadarkan kita betapa lama para prajurit mengalah bertugas dengan penuh dedikasi dan loyalitas agar alutsista yang diawakinya tetap dapat dioperasionalkan. 

Gerakan warga masyarakat ketika melakukan pengumpulan dana untuk membeli alutsista setelah tenggelamnya KRI Nanggala 402, adalah representasi dukungan masyarakat perlunya pengadaan alutsista baru.

Kemandirian industri pertahanan membuat kita bebas sesuai kemampuan memilih negara yang menjadi mitra alih teknologi. Seyogyanya kita memilih negara mitra industri pertahanan yang bersedia bekerja sama, namun tidak menghambat kita memiliki hubungan ekonomi perdagangan dengan negara lain.

Sebaliknya, kita juga membangun kerja sama ekonomi dengan suatu negara yang membebaskan kita memiliki hubungan kerja sama industri pertahanan dengan negara lain.

Menjaga keseimbangan dalam memenuhi berbagai kebutuhan Indonesia baik ekonomi maupun pertahanan dengan berbagai negara di tengah kompleksitas interaksi dengan berbagai negara yang memiliki berbagai kepentingan tentu memerlukan kepiawaian diplomasi. Upaya menjaga keseimbangan ini sebenarnya adalah implementasi sikap politik luar negeri yang bebas aktif. Hal ini juga mendorong kesetaraan dan meningkatkan posisi tawar dalam masyarakat internasional.

Upaya meningkatkan posisi tawar ini semakin relevan dengan meningkatnya ketegangan kawasan akibat rivalitas Tiongkok dengan AS dan sekutunya. Suatu situasi yang menantang Indonesia agar mengambil peran aktif menurunkan "tensi" kawasan di tengah tarikan kepentingan adidaya. 

Salah satu pilihan adalah menggunakan diplomasi angkatan laut, sebagaimana amanat UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentu memerlukan alutsista yang memadai dalam jumlah dan teknologi. Maka tidak ada alasan meningkatkan anggaran belanja pertahanan matra laut sebagai prioritas. 

Wasana kata.

Lalu setelah 76 tahun Indonesia merdeka, apakah visi Presiden Soekarno pada peresmian IAL telah terwujud ? Visi yang diawali dari kelahiran organisasi pergerakan di awal abad 19, yang menandai adanya kesadaran bahwa Hindia Belanda harus bertransformasi menjadi Indonesia yang berdaulat. Transformasi agar Indonesia tidak menjadi babu dan jongos serta obyek permainan bangsa lain.

Pidato Presiden Soekarno ketika meresmikan IAL pada tahun 1951, dapat dimaknai bahwa kelak kadet IAL akan menjadi perwira yang menjaga tanah airnya yang kaya dan memiliki kedaulatan ekonomi untuk kesejahteraan bangsanya. 

Harapan itu relevan sampai sekarang, seperti permanennya kepentingan nasional Indonesia. Bukan karena besarnya investasi di Indonesia, suatu negara asing lalu mendikte dan mengacak-acak wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran Armada RI yang besar dan kuat merupakan salah satu jawaban. 

Dirgahayu Armada Republik Indonesia 5 Desember 1959-2021, Ghora Vira Madya Jala (pw).

***

Pudji Widodo,
Sidoarjo, 09122021 (92)

Sumber : [1], [2], [5], [6]

3. Dispenal. Dirgahayu TNI Angkatan Laut. Info Historia, edisi khusus HUT TNI AL ke-73, 10 September 2018.

4. Soekarno. Indonesia Menggugat. E-book, pdf dalam koleksi buku Rowland.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun