Keterbukaan TNI tentang ODHA
Sebanyak 1.826 prajurit TNI terinfeksi HIV dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini diungkapkan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa di sela kunjungan kerjanya ke Jayapura pada 30 November 2021. "Kami tidak perlu malu mengungkapkannya karena faktanya kami punya prajurit yang terinfeksi virus tersebut." (antaranews.com, 1/12/2021) <1>.Â
Ini bukan yang pertama kali TNI membuka data status kesehatan prajuritnya, pada tahun 2010 Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso mengungkapkan bahwa secara kumulatif sejak 2002, sebanyak 144 anggota TNI di wilayah Kodam Cenderawasih tergolong sebagai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (tempo.co, 15/8/2010)<2>. Â
Keterbukaan TNI tentang status kesehatan sumber daya personelnya merupakan contoh kepada masyarakat betapa pada suatu entitas yang telah dilakukan pembinaan secara sistematis untuk menjaga kualitas personelnya pun tidak bebas dari masalah ODHA.Â
Realita tersebut menjadi tantangan pembinaan personel, termasuk bagaimana upaya TNI mengatasi stigma terhadap penderita HIV di jajarannya.Â
Objektivitas penilaian daya guna prajurit TNIÂ berstatus ODHA pun patut menjadi perhatian sebagai bentuk kesejahteraan yang menjadi hak prajurit.Â
Sebagaimana kita ketahui Acuquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).Â
Virus HIV mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah terserang penyakit infeksi dan meningkatkan resiko terkena kanker. Â
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin pencegahan ataupun obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini secara tuntas.Â
Masa inkubasi antara saat terkena infeksi dan munculnya gejala penyakit pada orang dewasa rata-rata 5-7 tahun.Â
Selama kurun waktu tersebut pengidap HIV telah dapat menularkan virusnya kepada orang lain.
Dengan demikian tantangan pembinaan kesehatan terhadap ODHA adalah mengupayakan prajurit pengidap HIV dapat tetap produktif, memperlambat yang bersangkutan memasuki fase AIDS di tengah risiko penugasan yang disesuaikan dengan kondisinya dan berperan mencegah penularan.Â
Upaya kesehatan terhadap prajurit TNI bukan hanya demi kepentingan internal, namun juga harus mendukung dan menjadi bagian dari strategi nasional.Â
Perang melawan HIV/AIDS telah menjadi kesepakatan global, maka kita tidak ingin mendapat predikat negara yang gagal dalam memberantas HIV/AIDS.
Penapisan ODHA di lingkungan militer
Mengulik bagaimana TNI membina prajuritnya yang berstatus ODHA, dimulai dari batasan tugas pembinaan kesehatan militer.Â
Upaya pembinaan kesehatan militer bertujuan memelihara dan meningkatkan kesiapan fisik serta kesehatan jiwa prajurit, agar selalu siap melaksanakan tugas.Â
Dalam hal ini harus dibaca bahwa pembinaan kesehatan militer sudah dimulai dari sejak memilih calon prajurit, merawat selama berdinas aktif dan mengantarkan prajurit purnadinas agar status kesehatannya tetap paripurna saat pensiun kembali ke masyarakat.
Seleksi calon prajurit. Rangkaian seleksi calon personel militer pada umumnya meliputi seleksi administrasi, kesehatan, kesamaptaan jasmani, psikologi dan mental ideologi.
Seleksi aspek kesehatan calon berupaya agar dapat menghasilkan profil terbaik calon prajurit secara utuh sehat baik fisik maupun mental.Â
Materi seleksi kesehatan personel militer melibatkan hampir seluruh cabang spesialis kedokteran, termasuk bidang patologi klinik yang meliputi pemeriksaan penunjang klinik laboratorium. Salah satu pemeriksaan penapisan laboratorium adalah tes HIV.
Tes HIV untuk kepentingan perorangan bersifat sukarela, namun tes HIV di lingkungan militer dilaksanakan dengan pendekatan mandatory.Â
Hal ini menimbulkan kesan bahwa pelaksanaan tes HIV di lingkungkungan militer merupakan kebijakan diskriminatif.Â
Setiap warga negara dijamin undang-undang untuk berhak ikut serta dalam usaha bela negara, namun harus pula melihat regulasi secara utuh, bahwa untuk menjadi prajurit TNI diperlukan persyaratan yang diatur juga sesuai UU.Â
Pertahanan negara dalam hal ini harus dilihat sebagai kepentingan esensial menyangkut keutuhan dan tegaknya negara, yang lebih besar dari pada kepentingan atau hak perorangan mendapat pekerjaan.
Penapisan ODHA pada personel militer aktif. Jumlah pengidap HIV di jajaran TNI diperoleh dari berbagai kegiatan penapisan HIV.Â
Pemeriksaan tes HIV yang menunjukkan hasil reaktif (positif) pada personel militer aktif dapat ditemukan pada saat:
- Prajurit berobat karena sakit, yang secara klinis ditemukan sekumpulan gejala dan tanda yang mendorong dokter pemeriksa memutuskan melakukan tes HIV untuk menegakkan diagnosis penyakit primer,
- Pada saat pemeriksaan kesehatan berkala prajurit, baik di satuan administrasi, lembaga pendidikan, satuan tempur maupun pasukan khusus,
- Pada seleksi pendidikan pengembangan karir di dalam maupun di luar negeri,
- Pemeriksaan kesehatan pra dan purnatugas operasi militer,
- Pemeriksaan kesehatan penugasan ke luar negeri,
- Pemeriksaan kesehatan pada seleksi prajurit teladan, dan
- Mereka yang berperilaku risiko tinggi proaktif melaksanakan konsultasi di poliklinik VCT rumah sakit satuan.
Mereka yang pemeriksaan tes HIV-nya menunjukkan hasil reaktif selanjutnya secara periodik akan menjalani pemantauan kesehatan di poliklinik Voluntary Consultating and Testing (VCT) rumah sakit.Â
Dokter kesatuan selanjutnya akan mengkomunikasikan perkembangan kesehatan personel pengidap HIV dengan pejabat personalia satuan, untuk menentukan daya guna atau penempatan jabatan yang bersangkutan.Â
Disiplin personel militer pengidap HIV menjalani terapi akan membuat produktifitas kerja yang bersangkutan dapat dipertahankan lebih lama dan tidak mudah jatuh ke fase AIDS.
Pembinaan keluarga personel militer ODHA. Pembinaan kesehatan bukan hanya ditujukan kepada personel yang bersangkutan, namun juga seluruh keluarganya.Â
Diperlukan edukasi agar suami isteri berperan dalam memproteksi diri dari penularan. Penyebaran HIV tidak hanya menyerang suami yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga kepada ibu rumah tangga. Beban pembinaan akan bertambah berat bila ibu kemudian hamil dan menularkan virus HIV kepada bayi.
Pengalaman penulis menunjukkan beberapa personel mengalami kesulitan untuk menyampaikan status HIV-nya kepada keluarga. Perlu waktu untuk menerima kenyataan dan keberanian menyampaikan kondisi kesehatannya kepada pasangan.Â
Di sisi lain, dinas berkepentingan melakukan penapisan kepada keluarga, memberi edukasi pencegahan penyebaran HIV dan melindungi masyarakat.
Karir personel militer ODHA Â
Meskipun tampak normal karena belum masuk fase AIDS, satuan tidak akan menempatkan pengidap HIV ke dalam penugasan berisiko dan diupayakan agar mudah mendapat akses pengobatan.Â
Hal inilah yang menyebabkan prajurit pengidap HIV tidak bisa menjalani tour of duty dan tour of area sebagaimana prajurit yang tidak mengidap HIV.Â
Secara tidak langsung perjalanan karir pun akan relatif terhambat, karena persyaratan untuk mendapat jabatan tertentu tidak mampu dipenuhi yang bersangkutan.
Kesempatan mendapat pendidikan untuk jenjang karir personel juga akan berkurang, karena untuk menjalani pendidikan pun terdapat persyaratan seleksi. Maka keterlambatan dalam mendapat promosi jabatan dan penugasan merupakan hal yang wajar, bukan diskriminasi. Bila yang bersangkutan telah masuk ke fase AIDS, tentu kesempatan mendapat jabatan akan semakin terbatas karena turunnya produktivitas kerja.
Namun demikian bukan berarti kesempatan peningkatan karir telah tertutup. Para pemangku pembinaan karir seyogyanya mempertimbangkan hasil pemantauan dokter satuan terhadap status kesehatan pengidap HIV secara periodik.
Pemantauan tersebut meliputi disiplin pengidap HIV minum obat, kelainan klinis kondisi fisik dan mental, parameter pemeriksaan jumlah sel darah putih CD-4 yang menunjukkan fungsi kekebalan tubuh, serta nilai konduite kinerja yang bersangkutan.
Bila hasil pemantauan tersebut menunjukkan kategori baik, maka yang bersangkutan dipandang layak menerima reward berupa pemberian jabatan definitif dan pangkat, meskipun terlambat dibanding sejawatnya seangkatan.Â
Dengan demikian potensi yang bersangkutan tetap dapat diberdayakan dan mendorong yang bersangkutan berupaya mempertahankan status kesehatannya minimal "Cukup", sehingga memenuhi syarat untuk penugasan yang bersifat administrasi atau staf. Â Dengan demikian dapat dihindari adanya kesan memarjinalkan dan menghukum yang bersangkutan, karena pendekatan yang dilakukan adalah penyesuaian jenis penugasan dan jabatan.
Perang global melawan HIV/AIDS
Meskipun kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981, namun sejarah perkembangan dan penyebaran HIV telah dimulai pada awal abad 20. Â
Di Afrika, Simian Immunodeficiency Virus (SIV) yang genetiknya mirip HIV, terdapat pada simpanse dan gorila yang kemudian menyeberang ke manusia.  Â
Hipotesis baru menyatakan bahwa patient zero adalah seorang prajurit Perang Dunia-I yang karena kehabisan logistik, lalu berburu simpanse di hutan Malaundou Kamerun pada tahun 1916.
Dari para tentara yang kemudian kembali ke Leopoldville, sekarang disebut Kinshasa ibu kota Kongo, rangkaian transmisi virus dimulai. Kolonialisme, kelaparan dan prostitusi telah mendukung transmisi virus (gatra.com, 2/2/2021) <3>.Â
Pada tahun 1960 galur yang telah berevolusi sebagai HIV-1 telah menyebar dari Afrika ke Haiti, selanjutnya antara 1969 - 1972 virus bermigrasi ke Amerika Serikat (britannica.com)<4>.
Kilas balik sejarah tersebut menunjukkan bahwa militer merupakan bidang pekerjaan yang termasuk risiko tinggi terkait transmisi HIV dan penyakit menular seksual lainnya.Â
Untuk itu di daerah tugas operasi diperlukan praktek kepemimpinan lapangan berupa pengawasan dan pengendalian personel yang ketat.Â
Selain itu, terhadap personel perlu dipertimbangkan adanya kegiatan terstruktur yang dapat meminimalkan waktu luang, mengupayakan kegiatan yang meningkatkan religiositas untuk pengendalian diri, serta memanfaatkan faktor potensi kemampuan fisik utuk mencapai sasaran tugas yang optimal. Â
Di sisi lain, penanggulangan HIV/AIDS di pangkalan yang selama ini telah dilaksanakan berupa kursus pembentukan peer leader agar dilanjutkan.Â
Para peer leader ini diharapkan menjadi teladan, komunikator dan melaksanakan edukasi bagi anggota unitnya. Pendekatan perilaku ini diharapkan dapat meningkatkan peran penanggulangan dan pencegahan peningkatan jumlah pengidap HIV. Â
Pengalaman penulis menunjukkan pentingnya kerja sama berupa pertemuan rutin antara dinas kesehatan satuan dengan para peer leader satuan, untuk memantau upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Â
Menurut World Health Organization (WHO) hingga tahun 2020, jumlah orang dengan HIV 37,7 juta, dengan penambahan kasus setiap tahun 1,5 juta dan jumlah kematian rata-rata 680.000 orang (kompas.com, 1/12/2021) <5>.Â
Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2020 terdapat 543.000 kumulatif kasus HIV. Â Pada tahun 2019 kasus HIV di Indonesia 64,50% adalah laki-laki, sedang kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Â Data situasi HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut (Infodatin, 2020) <6>.
Strategi pengendalian HIV/AIDS secara global diharapkan tercapai pada 2030 melalui target 3-Zero yaitu tidak ada infeksi baru, tidak ada kematian berkaitan AIDS dan tidak ada diskriminasi.Â
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, kita terikat kepada kesepakatan Sustainable Development Goals (SDG's) yang berlaku pada 2016 - 2030.
Adapun tujuan ke-3 SDG's adalah berupaya untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua penduduk pada setiap tahap kehidupan.Â
Tujuan tersebut diantaranya adalah untuk meningkatkan kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu dan anak; dan mengakhiri epidemi HIV/AIDS. Maka setiap prajurit berkewajiban turut serta terlibat dalam perang global melawan HIV/AIDS, sehingga parameter pengendalian HIV/AIDS semakin membaik.Â
Indonesia telah mengadopsi target "95-95-95" yang semula "90-90-90". Untuk itu secara bertahap sampai 2024 Kemenkes berupaya mencapai 90% ODHA mengetahui status kondisinya, 60% ODHA yang dalam terapi ARV dapat menekan perkembangan virus dan 60% telah mendapat terapi ARV.
Wasana kata
Pemahaman terhadap target Indonesia dalam perang global melawan HIV/AIDS dan menyadari prajurit merupakan kelompok risiko tinggi transmisi HIV, diharapkan mendorong setiap prajurit memikul beban tanggung jawab kemana pun bertugas.
- Dalam melaksanakan misi pasukan PBB, setiap prajurit adalah duta bangsa, jangan memalukan satuan dan martabat bangsanya. Data perilaku risiko tinggi prajurit, pelecehan seksual dan angka kejadian penyakit di negara misi PBB akan menjadi perhatian masyarakat internasional. Di lapangan, hal ini berdampak menurunkan respek masyarakat negara tujuan misi dan beresiko tidak tercapainya misi penugasan.
- Melaksanakan delapan wajib TNI, khususnya kewajiban keempat: "Menjunjung tinggi kehormatan wanita",
- Berusaha kembali dari penugasan dan pulang ke tengah keluarga tidak membawa "oleh-oleh penyakit" yang menjadi sumber penularan bagi keluarga dan masyarakat. Â
Kehadiran Dinas Pembinaan Mental sebagai organisasi baru di TNI AL lepas mandiri dari Dinas Administrasi Personel, diharapkan bisa berbagi ruang pembinaan yang selama ini telah dilaksanakan Dinas Kesehatan. Namun bukan berarti institusi kesehatan lalu hanya fokus kepada pelayanan dan teknis medis semata.Â
Sinergi dinas kesehatan dan dinas pembinaan mental diharapkan dapat meningkatkan upaya penanggulangan HIV/AIDS untuk menjaga kesiapsiagaan prajurit melaksanakan tugas negara (pw). HIV AIDS 2021.
 Pudji Widodo,
Sidoarjo, 05122021 (91).
Sumber : [1] , [2], [3], [4], [5],
6. Kemkes RI. Infodatin 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H