Di pinggir jalan raya jalur Taman-Krian-Mojokerto, dekat jalan layang Trosobo terdapat warung sederhana "Iwak Kali" yang menyajikan menu ikan sepat dan ikan bethik goreng. Warung makan "Iwak Kali" bertetangga dengan warung makan "Iwak Nyambik" yang menyediakan menu daging biawak goreng.Â
Nama "ikan biawak" tentu saja tidak akan pernah ditemukan dalam referensi manapun, karena adanya hanya di atas piring berupa lauk biawak goreng alias iwak nyambik.
Perubahan "lawuh" menjadi "iwak" mungkin dapat ditelaah dengan pendekatan konsumsi dan daya beli untuk penyediaan lauk makanan. Variasi harga bahan lauk makanan menyebabkan masyarakat memilih faktor keterjangkauan sebagai prioritas.  Hal ini tampak dari upaya  konsumsi daging untuk mendukung peningkatan asupan protein dari sumber hewan terkendala daya beli masyarakat.Â
Tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 2019 hanya 1,98kg/kapita, sedang Malaysia 5,30kg/kapita, Vietnam 9,46kg/kapita  dan rata-rata konsumsi daging global 6,43kg/kapita. Rendahnya rata-rata konsumsi daging sapi Indonesia sepanjang tahun 2015 -- 2019 dicatat Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)/Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Bukan hanya daging sapi, tingkat konsumsi daging domba dan unggas pun Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global (Hanif Gusman, tirto.id, 30/6/2020).
Rendahnya konsumsi daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh kurangnya pasokan daging sapi yang berdampak pada kenaikan harga dan berakibat kepada turunnya daya beli, sebuah lingkaran setan yang harus diputus. Menristek Dikti Bambang Brodjonegoro menyampaikan solusi mengatasi hal tersebut dengan berupaya memperkuat suplai daging sapi melalui "breeding" sapi unggulan, agar bukan hanya pasokannya yang meningkat, namun juga kualitas daging juga membaik. Hal itu pula yang  dilaksanakan oleh Bengkel Ternak Sapi UGM di Pusat Pengembangan Sapi Gama kerjasama Fakultas Peternakan UGM dan PT Widodo Makmur Perkasa di Kabupaten Klaten (www.ristekbrin.go.id, 18/12/2019).
Menyiapkan ragam sumber protein
Upaya mengembangkan sapi "breeding" tersebut, mengingatkan bagaimana bangsa ini melampaui masa-masa sulit. Ketika UUD NKRI dinyatakan resmi berlaku sejak 18 Agustus 1945, tercantum dalam pembukaannya narasi "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "melindungi segenap tumpah darah Indonesia". Kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya, Soekarno melalui naskah Indonesia Menggugat telah mengungkapkan penderitaan warga Bumiputra yang menjadi buruh dari mesin produksi kolonial dengan upah sangat rendah, yaitu buruh pabrik pria gula f 0,45/hari dan untuk wanita f 0,35. Soekarno menyebut sebagai suatu upah yang "sekedar sama dengan ongkos-ongkos hidup yang paling murah" atau upah yang "sekedar supaya jangan sampai mati kelaparan", sehingga hidupnya melarat. (Soekarno, 1930 : 41). Maka soal malnutrisi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP), yang menyebabkan rentan infeksi dan meningkatkan angka kematian, tentu saja terkait kemiskinan.
Setelah 75 tahun merdeka, ternyata tingkat konsumsi daging masih menjadi masalah di Indonesia karena tergolong rendah di antara negara ASEAN. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak mudah ketika pola konsumsi makanan yang sehat dan asupan gizi tidak memenuhi syarat. Melindungi segenap tumpah darah Indonesia bukan hanya diterjemahkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan perang konvensional, namun juga perang melawan penyakit dan untuk itu setiap anak bangsa memerlukan status gizi yang baik.Â
Terkait dengan upaya mendapat status gizi yang baik, tampaknya kita harus menengok masa lalu tentang konsumsi makanan sumber protein. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa pada masa lalu di wilayah Sumatera Timur pada abad keempat sampai empat belas masehi telah ada pola konsumsi ikan. Setiap kali dilakukan ekskavasi di wilayah tersebut selalu ditemukan patil ikan. Budi Wiyana, Kepala Balai Arkeologi Sumsel menjelaskan bahwa patil ikan ditemukan di antara artefak rumah tangga di situs pemukiman kuno pantai timur Sumatera. Bukti tersebut menunjukkan bahwa jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan patin, sembilang, lele, baung, lambak dan juaro, juga ikan yang ukurannya besar sesuai gambaran ruas tulang belakang ikan yang ditemukan ( Wijaya, www.mongabay.co.id, 04/1/2017).Â
Ribuan tahun yang lalu, dalam gua  (layang) di tepi danau Lut Tawar di Takengon Gayo Aceh, pernah hidup dan bertempat tinggal manusia ras mongoloid dan austromelanesia.  Penelitian arkeologi terhadap layang  Mendale dan layang Ujung Karang menemukan kerangka manusia, kapak batu, anyaman rotan, fragmen gerabah, tulang binatang dan cangkang kerang laut dan darat. Tepian danau Lut Tawar sebagai pilihan untuk pemukiman tentu saja diantaranya berdasarkan kebutuhan sumber air dan sumber makanan berbagai jenis ikan dan kerang (Tjahjono, lorongarkeologi.id, 24/1/2018). Prasasti jaman kerajaan Majapahit menggambarkan kebutuhan sehari-hari meliputi bahan makanan, hasil bumi, dan pakaian, juga garam, binatang ternak, unggas dan ikan.  Komoditi lain yang diperdagangkan adalah kelapa, pewarna batik, mengkudu, kacang-kacangan, lada dan tebu (Anwari, 2015 : 110 -- 111).Â
Pola konsumsi masyarakat di beberapa wilayah Indonesia berabad-abad lalu telah menunjukkan adanya asupan protein bersumber dari ternak kerbau, berbagai unggas, ikan dan kacang-kacangan juga kerang laut dan kerang air tawar. Catatan sejarah ini, seyogyanya menjadi pemacu masyarakat kekinian untuk tidak tergantung pada satu sumber pangan. Di tengah tekanan pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada sektor ekonomi dan ditandai dengan turunnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya pendapatan, bahkan tidak mempunyai penghasilan karena kehilangan mata pencaharian, maka diperlukan adaptasi pola konsumsi makanan dari sumber pangan yang sesuai tanpa mengabaikan kualitas gizi.