Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bung Karno Sakit, Prognosis oleh Tim Dokter RRC dan Tim Dokter Kepresidenan RI Berbeda

1 Oktober 2020   13:21 Diperbarui: 2 Oktober 2020   02:55 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Pudji Widodo

Ibu pertiwi sedang hamil tua


Beberapa hari sebelum tanggal 1 Oktober 1965, Anwar Sanusi salah seorang tokoh penting PKI menggambarkan situasi saat itu sebagai "ibu pertiwi yang sedang hamil tua". Dari perut ibu pertiwi akan lahir satu kekuatan baru melalui sebuah revolusi (Said, 2018 : 67) <1>.

Lazimnya seorang ibu menjalani persalinan melalui jalan lahir normal atau pervaginam, namun atas indikasi tertentu maka proses persalinan dilaksanakan melalui prosedur operasi "Sectio Caesaria" atau dikenal sebagai operasi sesar. PKI tidak mau menunggu  ibu pertiwi mengalami persalinan normal, proses revolusi tak bisa ditunggu lagi. Oleh karena itu PKI  melakukan langkah pendahuluan merebut kekuasaan melalui aksi G30S/PKI dengan jalan    menyingkirkan para Jenderal Angkatan Darat yang anti komunis.

Selaras dengan analogi Ibu hamil, maka rencana tindakan medis persalinannya tentu berdasarkan indikasi medis, misalnya ibu dengan panggul sempit, adanya tumor jalan lahir atau kelainan letak dan kegawatan janin. Tindakan persalinan dilaksanakan segera untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Tentu saja untuk dapat melaksanakan operasi sesar diperlukan seperangkat alat kesehatan, termasuk diantaranya pisau bedah.

Terakhir, karena ini tindakan operasi pasti tidak boleh dilakukan oleh sembarang tenaga medis, harus dokter ahli spesialis kebidanan-kandungan. Dalam hal G30S/PKI, seluruh keputusan untuk menyelamatkan ibu pertiwi yang hamil tua, berdasar berbagai pertimbangan termasuk berhubungan dengan riwayat penyakit yang diidap Bung Karno.

PKI  memanfaatkan kondisi Soekarno yang mengidap penyakit kronis sehingga harus mendatangkan dokter dari China untuk pengobatannya. Sakitnya Bung Karno sejak awal Agustus 1965, menimbulkan pandangan bahwa siapa yang mengetahui lebih dahulu wafatnya Bung Karno akan memiliki kesempatan melakukan inisiatif di antara  kubu yang berhadapan yaitu PKI dan Angkatan Darat. Benturan dua kekuatan tersebut belum terjadi karena keberadaan Bung Karno sebagai penyeimbang kekuatan. 

Maka tidak aneh bila kemudian muncul informasi yang berbeda tentang prognosis status kesehatan Bung Karno. Tim dokter China yang dipimpin Chen Yi, Menlu RRC menyatakan bahwa Bung Karno akan segera meninggal atau lumpuh. Sebaliknya dr. Mahar Mardjono selaku dokter pribadi Bung Karno menyatakan tidak separah itu dan terbukti kesehatan Presiden Soekarno pulih kembali. Namun hal tersebut tidak mempengaruhi PKI untuk menunda rencananya merebut kekuasaan.  

Pernyataan tim dokter China tentang status kesehatan Bung Karno menimbulkan kecurigaan bagi kubu angkatan darat. Ketidakpercayaan angkatan darat kepada tim dokter Kepresidenan dikemukakan oleh Soeharto dalam biografinya : "Jika benar Soekarno mengalami sakit keras tentu saja PKI yang dekat dengan China tahu pasti apa penyakit yang diderita Soekarno, agar jika presiden tidak mampu lagi memegang kontrol atas kekuasaan, maka PKI dengan cepat mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno" <2>.

Relevan dengan hal tersebut, Marsma TNI Tranggono, yang pernah bertugas sebagai ajudan Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio yang merangkap Menlu dan Kepala Badan Pusat Intelejen, sempat mendengar dialog antara Dr. Subandrio dengan Menlu RRC Chen Yi yang memperbincangkan kesehatan Soekarno.

Tempat yang tenang di Danau Angsa

Empat puluh tahun setelah peristiwa G30S/PKI, Ilmuwan Chekoslowakia Victor Miroslav Fic menerbitkan buku berjudul "Kudeta 1 Oktober 1965". Dalam buku tersebut, Miroslav mencoba melakukan rekonstruksi dan menyatakan bahwa apa yang akan dilakukan oleh pemerintah RRC kepada Soekarno adalah upaya pengulangan keberhasilan RRC yang pernah diterapkan di Kamboja.

China lebih dulu mengkomuniskan Kamboja melalui Pol Pot. Langkah berikutnya adalah nemanfaatkan kudeta yang dilakukan Jenderal Lon Nol terhadap Sihanouk saat raja Kamboja tersebut melakukan kunjungan ke Moskow. Selanjutnya China menawarkan tempat tinggal bagi Sihanouk karena Uni Sovyet menolak memberikan suaka (Miroslav, 2005 : 88) <3>

Kehidupan Sihanouk yang nyaman dalam  pengasingannya  di China memang tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh Khmer Merah Pol Pot yang lahir dengan nama Saloth Sar. Pol Pot adalah anggota sel gerakan komunis Cercle Marxiste dan bergabung dengan Partai Komunis Perancis sebelum kembali ke Kamboja. Pada awal tahun 1960 Saloth Sar mendirikan base camp di perbatasan bagi gerakan sosialis Kamboja dan menyerukan perjuangan bersenjata. Di kamp perbatasan tersebut ideologi Khmer Merah secara bertahap dikembangkan dan pada awal 1967 melakukan pemberontakan.

Meskipun Norodom Sihanouk telah melakukan represi terhadap kaum kiri Kamboja, namun perkembangan peta politik Kamboja justru berubah setelah pemerintahan Raja Sihanouk digulingkan Jenderal Lon Nol yang didukung AS pada tahun 1970. Hal itu memaksa Sihanouk keluar dari Kamboja dan beralih ke Pol Pot yang pernah menjadi lawannya. Selanjutnya Norodom Sihanouk menikmati kehidupan yang mewah dan menyenangkan di China sampai dia kembali ke Kamboja setelah ada perubahan peta politik. Tampaknya model penyelamatan seperti ini yang ditawarkan kepada Soekarno

Rencana penyelamatan seperti yang pernah dialami Norodom Sihanouk itulah yang sempat didengar oleh Tranggono saat Kepala BPI Dr Subandrio berdialog dengan Menlu RRC dalam mobil yang membawa mereka. Marsma TNI Tranggono pada tahun 1989 membuat pernyataan tertulis tentang apa yang ia ketahui sebagai ajudan Dr. Subandrio pada waktu kedatangan Chen Yi di Indonesia membawa tim dokter China untuk mengobati Bung Karno.

Kepada Dr. Subandrio, Menlu  RRC mengatakan bahwa "Untuk Soekarno sudah saya siapkan tempat yang tenang di Danau Angsa" (RRC). Berarti nasip Soekarno akan sama dengan Pangeran Norodom Sihanouk pada waktu digulingkan Pol Pot juga lari Ke RRC, yaitu dibawa ke tempat yang telah dipersiapkan Pemerintah China. (Katoppo, 1999 : 48)<4>.

Perkembangan kesehatan Presiden Soekarno membaik, meskipun akhirnya meninggal lima tahun setelah diagnosis penyakitnya ditegakkan oleh tim dokter China. Skenario penyelamatan dan perawatan Bung Karno di kawasan indah Danau Angsa China tidak terlaksana. Mungkin Sang Pemimpin Besar Revolusi menolak karena memiliki pertimbangan dan agenda yang hanya beliau sendiri yang mengetahuinya. Andai Bung karno menyetujui dirawat di China dan lama beristirahat di kawasan Danau Angsa, mungkin perjalanan sejarah Indonesia juga lain. Terlepas dari Bung Karno jadi atau tidak ke Danau Angsa, PKI tetap melaksanakan rencana perebutan kekuasaan yang telah dipersiapkan

Sasaran program PKI adalah memenangkan Pemilu yang direncanakan pada tahun 1970. Rupanya PKI tidak ingin rencananya gagal bila mendadak Presiden Soekarno meninggal dunia karena sakit dan untuk itu harus mempersempit peluang angkatan darat memenangkan persaingan politik. Ibu pertiwi yang hamil tua terlalu lama bila dibiarkan secara legeartis melahirkan normal.

Bayi revolusi PKI harus dilahirkan dengan cara operasi sesar. Maka untuk melapangkan langkah PKI, penghalang rencana tersebut yaitu para petinggi angkatan darat yang antikomunis harus disingkirkan lebih dahulu menggunakan isu adanya Dewan Jenderal. Semula konsep operasi  PKI hanyalah menangkap para anggota Dewan Jenderal untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno, namun yang terjadi di lapangan adalah pembunuhan. 

Alternatif narasi sejarah

Indikasi melakukan tindakan operasi sesar untuk menyelamatkan ibu pertiwi adalah informasi adanya Dewan Jenderal. Tindakan PKI dilakukan dengan dalih untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari upaya perebutan kekuasaan yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Waktu yang dipilih untuk melaksanakan operasi adalah 30 September 1965.

Pisau bedah untuk melakukan tindakan operasi sesar pun sudah diasah lama untuk mempersiapkan ketajamannya, mereka adalah kelompok perwira berhaluan kiri yang sudah dibina PKI sebagai perwira progresif revolusioner, dintaranya adalah Brigjen TNI Supardjo, Kolonel Inf. Latif dan Letkol Inf Untung.

Lalu siapa dokter  yang bertindak sebagai operator Sectio Caesaria, narasi sejarah resmi tentu saja PKI, sedang Victor Miroslav menambah peran RRC yang terlibat konspirasi. Ada pula pendapat tentang kudeta merangkak, baik yang dilakukan Soeharto maupun oleh MPRS. Arsip departemen luar negeri  AS yang telah terbuka untuk diakses publik memberi bukti peran AS pada proses jatuhnya Soekarno karena AS tidak ingin Indonesia dikuasai komunis selain faktor penguasaan sumber daya alam.

Berbagai hal tersebut telah menjadi kajian yang diterbitkan dalam berbagai buku di dalam maupun di luar negeri. Selain buku Victor Miroslav yang terbit pada tahun 2004, dari Cornell University terbit naskah Cornell Papper pada tahun 1971, sedang riset John Roosa melahirkan buku berjudul "Dalih Pembunuhan Massal" pada tahun 2008. Adalah realita bahwa gelombang reformasi telah menyebabkan hadirnya narasi baru Gerakan 30 September/PKI.

Maka kehadiran berbagai sumber sejarah menimbulkan multiinterpretasi, sehingga sejarah sebagai satu-satunya narasi produk pemenang pada pergantian rezim tak bisa dipertahankan lagi. Berbagai kajian tentang dalang Gestapu 1965, atau sesuai istilah yang dipergunakan Anwar Sanusi,  dapat dikatakan dokter operator ibu pertiwi yang yang sedang hamil tua adalah multiaktor. Siapapun dokternya, bagi penulis pisau bedahnya sesuai fakta yang dipergunakan tetap sama yaitu personel ABRI berhaluan kiri kelompok progresif revolusioner binaan PKI bersama beberapa anggota Biro Khusus CC PKI. Sehingga secara formal dalam mata pelajaran sejarah istilah yang dipergunakan tetap G30S/PKI.

Siapapun dokter pelaksananya, sejarah mencatat operasi sesar ibu pertiwi yang sedang hamil tua tersebut menimbulkan komplikasi perdarahan. Ada yang menyebutkan bahwa dampak peristiwa G30S/PKI adalah terjadinya pembunuhan massal dengan korban hampir 500.000 orang.

Sesuai mandat supersemar, Soeharto telah membubarkan PKI, namun bukan hanya itu, masyarakat yang telah menderita akibat perlakuan PKI seakan mempunyai legitimasi untuk menghabisi mereka yang prokomunis. Hal ini juga menjadi catatan sejarah bahwa luka bekas operasi sesar ibu pertiwi, meninggalkan jejas  jaringan parut dan menimbulkan nyeri yang tidak mudah hilang begitu saja.
 
Sidoarjo, 30 September 2020.
Sumber :

1. Said, Salim. Gestapu 65, PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto.Penerbit Mizan, Bandung, 2019..
2. Ramadahan dan Dwipayana. Soeharto, pikiran, ucapan, dan tindakan saya.. PT Citra Kharisma, Bunda, Jakarta 1989.
3. Fic, MV.  Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2005.
4. Katoppo A (koord). Menyingkap Kabut Halim 1965. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun