Di lapangan para komandan daerah mengambil barang milik negara secara langsung tanpa kendali dari komando atasnya. Didorong untuk memenuhi kebutuhan pasukan, para komandan sering bertindak sendiri-sendiri dan tidak jarang menggunakan kekuatan senjata.
Di bidang ekonomi juga terdapat fenomena ekonomi gerilya dan perdagangan gelap. Sejak awal 1948, komandan-komandan militer mulai mendirikan dan mengepalai firma-firma. Dalam hal ekspor impor, kekuatan bersenjata seharusnya menjadi penjamin keselamatan barang, namun yang terjadi justru kekuatan bersenjata sebagai pelaku utama bukan pembantu.
Militer berperan aktif dalam perdagangan gelap di selat Madura. Ketika Ibukota pindah ke Yogyakarta, persediaan candu juga dibawa karena dipakai untuk mendanai kebutuhan pemerintah. Militerisasi di semua jawatan menyebabkan urusan candu juga di bawah kendali militer.
Di bidang keamanan dan ketertiban, dikenal adanya Barisan M (maling) yang diintegrasikan ke dalam organisasi TNI dan diwadahi dalam Kompi Matosin. Berbagai kebutuhan Republik yang sulit diperoleh di wilayahnya seperti obat, peralatan medis, suku cadang kendaraan termasuk senjata dapat disediakan oleh Kompi Matosin.
Terdapat juga organisasi “Terate” yang anggotanya adalah warga biasa pelakui kriminal dan para pelacur yang dimanfaatkan untuk tenaga kurir. Di Bondowoso, militer melepas narapidana dari penjara untuk ditugaskan melakukan teror dan intimidasi terhadap aparat NJT.
Di pembahasan terakhir dalam bukunya Ari sapto mengungkapkan bahwa keberhasilan membungkam komunis nasional dan merontokkan NM dan NJT menyebabkan pemerintahan militer dalam posisi tanpa kontrol, yang tidak saja berkuasa di bidang poitik, keamanan dan pemerintahan, tetapi juga ekonomi.
Persoalan tentara yang melakukan bisnis mencuat ke permukaan karena adanya persaingan antara elite pusat dan elite daerah. Kebijakan monopoli pemerintahan militer di jatim mengganggu aktifitas para pengusaha..
Pemerintahan militer di Jatim juga dianggap terlambat melaksanakan program demobilisasi, suatu konsep yang tidak disepakati elit militer Jatim yang mengedepankan konsep “manunggal” dan “Yok opo enake” untuk tetap dijalankan selama revolusi berlangsung.
Pada awal 1950 pasca penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) terjadi gejolak di beberapa tempat di Jatim. Terjadi demonstrasi ketidakpuasan karena adanya perusahaan asing yang masih melakukan aktifitas dan harus dikembalikan kepada pemilliknya.
Orang –orang Belanda yang tidak puas terhadap realitas politik juga melakukan kekacauan teror, perampokan dan penculikan, dengan harapan rakyat akan meminta bantuan kepada Belanda.
Pemerintah pendudukan Belanda diduga berada di balik kemunculan berbagai kelompok pengacau.Kekacauan juga ditimbulkan akibat ketidakpuasan pejuang dan reaksi atas kebijakan pemerintah terkait rasionalisasi. Pemerintah pusat memandang hal ini sebagai persoalan serius dan sepakat perlunya pemulihan keamanan.