Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Moda Transportasi Kereta Api sebagai Prioritas Pembenahan Angkutan Massal

16 Juni 2019   15:48 Diperbarui: 16 Juni 2019   16:50 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dok.pri Interior KA Turangga 49 dan tiket anak)

Soal perut lapar tak perlu bingung, ibu-ibu penjual asongan nasi pecel sigap melayani, sedang paginya di Cikampek sudah bisa sarapan  mie instan dihibur pengamen yang mengendong kotak pelantang suara.  Bila ingin beramal juga banyak kesempatan karena "pengemis" pun naik dengan bermodal sapu kecil membersihkan lantai lalu minta upah seikhlasnya.

Pengalaman sebagai penumpang liar di kereta api pada dua dekade yang lalu bukan hanya menggunakan gerbong penumpang, saya juga sering naik di kabin masinis. Tuntutan efisiensi membuat saya harus melupakan tragedi tabrakan KA di Bintaro. Yang paling keren bisa nunut kereta eksekutif di gerbong pembangkit, ada kamar khusus dan mendapat pinjaman selimut membuat saya nyenyak tidur melupakan resiko trauma akustik gendang telinga karena gemuruh mesin. Sama seperti di kabin masinis, saya cukup membayar sangat ekonomis  dua kali setelah keluar Jakarta dan di Pekalongan.

Bersyukur, Indonesia memiliki Pak Jonan yang mengubah manajemen perkeretaapian menjadi seperti sekarang ini. Tak lama setelah reformasi politik, pada sekitar tahun 2000 layanan kereta api juga mengalami reformasi dari manual menjadi digitalisasi.

Secara umum pelayanan PT KAI menurut saya sudah baik, misalnya pada jam pukul 02.00 dini hari petugas cleaning service stasiun Kutoarjo saya dapati sedang mengepel lantai stasiun. Di stasiun Surabaya Gubeng anggota Pramuka membantu pelayanan di mesin Self Checkin. Faktor keamanan, kenyamanan dan keterjangkuan harga tiket tentu saja menjadi prioritas pilihan mengapa saya memilih kereta api untuk perjalanan darat lintas propinsi di Jawa.

Di kota tujuan Purworejo, saya pun diuntungkan karena kemudahan mendapatkan mobil online untuk mendukung saya silaturahmi keliling ke rumah kerabat. Kenyamanan menggunakan kereta api itu yang membuat sampai akhir libur lebaran saat harus kembali ke Jakarta, tubuh dan mental  saya relatif lebih sehat dan bugar dibanding kerabat saya yang menggunakan mobil untuk perjalanan jauh.

Namun saya juga sempat mencatat sedikit kekurangan selama menggunakan jasa kereta api di Jakarta, Surabaya dan Kutoarjo pada kurun waktu sejak awal bulan puasa sampai libur lebaran Idulfitri. Di stasiun Jakarta Pasar Senen, salah satu kran di toilet umum yang tidak terfiksasi alias goyang dan sabun cair tidak ada. Fasilitas ruang tunggu yang sejuk dan toilet untuk penumpang kereta eksekutif dari stasiun awal hanya ada di Stasiun Surabaya Pasarturi. Akan lebih baik lagi bila faktor sanitasi toilet bisa bersih, kering dan mengkilat seperti di bandar udara.

Moda transportasi kereta api sebagai prioritas pembangunan

Konektifitas tol transjawa telah memberikan kontribusi besar atas lancarnya lalulintas pada libur lebaran dan membuat pemudik juga makin semangat menggunakan mobil. Menurut data Sistem Informasi Sarana Transportasi (SIASAT) tercatat 4,26 juta mobil pribadi pemudik atau 22,5% dari tahun lalu dan angkutan penumpang bus naik 10,7% menjadi 3,89 juta penumpang dibanding penumpang mudik tahun lalu.

Kelebihan penggunaan mobil dibanding kereta api adalah bisa mengunjungi beberapa kota tujuan dan kekeluasaan bepergian di kota tujuan utama. Meskipun semakin lancar, namun di beberapa ruas tol tertentu tetap saja tidak bebas dari kemacetan khususnya arus balik. Bertambah panjangnya jalan tol rupanya belum diimbangi dengan kecukupan rest area. Menambah rest area akan mengurangi kemacetan akibat  antrian mobil yang memasuki kawasan ini memanjang keluar menyita bahu jalan tol. Tercatat  keluhan pemudik dari Jateng untuk perjalanan balik dari Semarang menuju Jakarta ditempuh selama 15 jam, sedang saat mudik hanya 8 jam. Arus mudik relatif lebih lancar karena periode mudik lebih lama dan lebih leluasa, sedangkan saat kembali usai libur lebaran sebagian besar pemudik memilih dan terjadi arus balik bersama tanggal 9 Juni 2019.

Mengatasi kemacetan bukan hanya menjadi tanggungjawab operator transportasi yang telah berupaya keras melakukan rekayasa lalu lintas, tetapi juga manajemen waktu libur oleh para pemudik. Menurut saya pemudik terlena memaksimalkan waktu libur, seandainya pemerintah memberi kelonggaran tanggal 11 Juni 2019 sebagai waktu masuk hari kerja, secara psikologis mungkin pemudik cenderung tetap akan memilih kembali tanggal 10 Juni 2019. Dengan demikian pada tanggal tersebut tetap merupakan puncak arus balik dan tetap terjadi kemacetan di ruas tol masuk Jakarta. 

Secara anatomi struktur jalan menurut saya saat arus mudik distribusi lalulintas terurai masuk ke berbagai ruas, sedang saat arus balik terjadi redistribusi konvergen ke ruas jalan yang lebih terbatas untuk masuk jakarta. Dengan demikian potensi kemacetan akan tetap ada dan pada arus balik berpotensi menyebabkan terlambatnya karyawan masuk kerja.  Ketentuan masuk hari kerja yang telah diputuskan oleh pemerintah tak bisa ditawar, tinggal kewajiban pekerja untuk mentaatinya dengan mengatur waktu kembali lebih awal. Dengan demikian resiko waktu perjalanan bertambah akibat kemacetan dapat diminimalkan dan tidak merugikan produktifitas kerja karena karyawan masuk kerja kembali tepat waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun