Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Moda Transportasi Kereta Api sebagai Prioritas Pembenahan Angkutan Massal

16 Juni 2019   15:48 Diperbarui: 16 Juni 2019   16:50 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Reuni dan nostalgia sepur jadul


Lebaran Idulfitri  tahun ini menjadi momen yang berharga bagi keluarga besar trah Sastro Tinojo. Kami yang tinggal tersebar di Denpasar, Malang Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Solo, Jakarta, Bekasi dan Tangerang sepakat bertemu di Purworejo Jawa Tengah pada tanggal 6 Juni 2019. Berbeda dengan sebagian besar keluarga Sidoarjo yang lain yang menuju Purworejo menggunakan mobil, keluarga saya dan keluarga adik ipar juga keluarga sepupu  memilih moda kereta api. Saya jauh-jauh hari sudah membeli tiket KA Turangga 49 dan 50 untuk pergi dan pulang Surabaya -- Kutoarjo Purworejo. Adik ipar memilih KA Gaya Baru Malam Selatan sedang sepupu saya menggunakan KA Jayakarta.

(foto salah satu keluarga yang hadir dalam temu kangen trah Sastro Tinojo)
(foto salah satu keluarga yang hadir dalam temu kangen trah Sastro Tinojo)

Dengan basis keluarga di Sidoarjo dan bekerja di Jakarta, kereta api menjadi pilihan utama supaya saya bisa berakhir pekan bersama keluarga. Para pengguna kereta api seperti saya mendapat julukan kelompok PJKA, " Pulang Jumat Kembali Ahad". Di tengah mahalnya tiket pesawat, maka kereta api merupakan pilihan utama yang tepat untuk mengamankan anggaran rumah tangga.

Saya yang biasanya naik kereta api sendirian, kali ini menyempatkan berkisah kepada anak saya tentang nostalgia saat masih kecil mengikuti orang tua pergi ke Purwodadi Grobogan menggunakan kereta api Surabaya Semarang. Saya lupa namanya, yang pasti bukan KA Maharani. Di Stasiun Gambringan Grobogan, kami harus turun dan pindah kereta dengan lokomotif uap  berbahan bakar kayu. Maka sepanjang perjalanan menuju Purwodadi, saya dapat menyaksikan percikan bara api pembakaran kayu dari dalam gerbong penumpang yang gelap gulita karena gerbong penumpang tanpa penerangan.

Setelah remaja, saya dan orang tua tak pernah lagi menggunakan KA antik itu lagi, dan berganti menggunakan bus antar kota via Solo. Stasiun KA di depan pasar Purwodadi pun sudah 23 tahun yang lalu tidak dipergunakan lagi.

Pada Idulfitri hari kedua KA Turangga 49 jam 16.30 tepat sesuai jadwal meninggalkan Stasiun Surabaya Gubeng. Kondektur dengan uniform keren, mengawali perjalanan saat masuk gerbong mengatupkan kedua tangan di dada, mengucapkan salam, menyebutkan nama dan dilanjutkan menyampaikan selamat Idulfitri serta terima kasih atas kepercayaan penumpang memilih kereta api sebagai moda transportasi. Selanjutnya tepat jam pk 22.20 sesuai jadwal saya sekeluarga sudah menginjakkan kaki di stasiun Kutoarjo.

Berbeda dengan perjalanan pergi, pada tanggal 8 Juni 2019 saat perjalanan pulang kembali ke Sidoarjo KA Turangga 50 Bandung-Surabaya terlambat 30 menit. Sejak berangkat dari Stasiun Kutoarjo, pemimpin perjalanan KA sudah menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan tersebut. Demikian pula di setiap tiba di stasiun antara dan stasiun tujuan akhir, kondektur selalu menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan perjalanan.

(dok.pri Interior KA Turangga 49 dan tiket anak)
(dok.pri Interior KA Turangga 49 dan tiket anak)
Menurut saya, estetika interior pemasangan TV LED, lampu baca dan toilet KA Turangga lebih bagus dan nyaman dibanding KA eksekutif Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya. Kloset kedua KA ini materialnya sama yaitu stainless steel, namun KA Turangga menggunakan kloset duduk sedang KA Gumarang menggunakan kloset jongkok. Kereta ekonomi pun sekarang berpendingin udara.

Sungguh kenyamanan yang berbanding terbalik dengan kereta api ekonomi yang rutin menjadi langganan saya pada tahun 1999 -2000 saat pertama kali bekerja di Jakarta. Jaman susah itu membuat saya harus "nembak" kondektur dengan membayar sebanyak 4 kali dari Surabaya -- Semarang -- Pekalongan - Cirebon sampai Jakarta,  yang nilainya memalukan untuk ditulis di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun