Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Maldistribusi Guru dan Perbandingan dengan Program Nusantara Sehat

7 Mei 2019   03:32 Diperbarui: 8 Mei 2019   13:18 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Personel Satgas SBJ LXIV/2015, foto Dispen Koarmatim dalam fauziahmuslimah.blogspot.com)

Program Nusantara Sehat
Pada Agustus - September tahun 2015 saya tergabung dalam Satuan Tugas Operasi Bakti Surya Bhaskara Jaya (SBJ) TNI AL LXIV, yang merupakan implementasi operasi militer selain perang (OMSP) dalam bentuk bakti sosial khususnya bidang kesehatan.

Bekerjasama dengan Kemenko PMK, kegiatan ini menjadi bagian dari program pemerintah bertajuk "Sail Tomini 2015". Salah satu pulau yang menjadi sasaran operasi bakti adalah P. Marore sebagai pulau terdepan Indonesia selain P. Miangas yang berbatasan dengan Filipina.

Selama sebulan rumah sakit kapal KRI dr. Soeharso 990 mengunjungi Tolitoli, P. Marore Kab Tahuna, Boalemo, Poso, Tinombo Parigi Moutong dan Banggai Laut. Kegiatan utama dalam pelayanan kesehatan kepada warga yang berdiam di P. Marore dan seluruh daerah sasaran tugas adalah pelayananan spesialistik rawat inap dan rawat jalan. 

Namun satgas juga membuka pelayanan umum untuk penapisan kasus. Adapun data pasien yang dilayani Satgas SBJ LXV selama sebulan di 6 lokasi kegiatan meliputi poliklinik umum 6704 pasien, poli gigi 1371 pasien, operasi kecil 282 pasien, operasi dengan bius umum 400 pasien (Bedah umum, THT, Kebidanan Kandungan), khitan 859 anak, Operasi Katarak 256 pasien, bibir sumbing 72 pasien dan pelayanan KB kontrasepsi mantab kepada 469 orang.

Di P. Marore Satgas SBJ LXIV bertemu dengan rekan-rekan petugas kesehatan yang ditempatkan di P. Marore melalui program Nusantara Sehat yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. Hebatnya 7 dari 9 peserta Nusantara Sehat di Marore adalah wanita. Para wanita perkasa ini sudah beberapa bulan bertugas sebelum Satgas SBJ datang, yang terdiri dari berbagai profesi kesehatan yaitu dokter umum; dokter gigi; perawat; bidan; penata gizi; analis kesehatan dan kesehatan lingkungan. Mereka bahu membahu bertugas selama 1 tahun. 

Jangan mengira mereka hanya berasal dari Provinsi Sulawesi Utara. Terasa sekali saat bertemu mereka, para prajurit TNI AL mendapat patner agen-agen pertahanan di bidang kesehatan.

Kehadiran mereka dari berbagai daerah Indonesia merupakan manifestasi Bhineka Tunggal Ika, berperan strategis merawat NKRI melalui aspek kesehatan. Kedatangan para tenaga kesehatan dari berbagai wilayah Indonesia, membuat warga P. Marore tidak merasa termarjinalkan karena negara hadir melalui program Nusantara Sehat dan operasi bakti SBJ TNI AL.

Prajurit TNI menjadi Guru Bantu
Bukan hanya di bidang kesehatan para prajurit TNI membantu program pemerataan kesejahteraan untuk masyarakat. Prajurit TNI dari satgas pengamanan perbatasan dan pulau terdepan di berbagai penjuru tanah air sudah lama terlibat program pendidikan di daerah tugasnya dengan berperan menjadi guru bantu. 

Bahkan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) menyatakan akan bekerja sama dengan TNI AD melaksanakan program tersebut. Beberapa pengamat menyatakan tidak setuju dengan alasan berpotensi melanggar undang-undang karena personel TNI tidak dibentuk untuk fungsi tersebut (Gilang Ramadhan, tirto.id 01/03/2019). 

Adapun yang mendasari keterlibatan prajurit TNI sebagai guru bantu adalah UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 7 tentang tugas TNI pada ayat 2 yang menyebutkan diantaranya adalah membantu tugas pemerintah di daerah. Jangan lupa pula bahwa TNI berkepentingan merebut dan memenangkan hati rakyat dalam operasi teritorial di daerah tertentu yang diganggu separatisme. 

Dengan demikian, peran prajurit TNI sebagai guru bantu itu bernilai strategis dan mempunyai payung hukum. Tentu saja untuk itu TNI akan memilih prajurit terbaik dan lebih dahulu memberi pembekalan pratugas.

Aktivitas prajurit TNI mendukung proses belajar mengajar sebagai guru bantu sebenarnya berangkat dari kenyataan bahwa prajurit yang sedang melaksanakan tugas kewilayahan mendapati sekolah yang kekurangan guru dengan berbagai sebab, diantaranya adalah memang belum pernah ada penempatan, ada yang pernah hadir setelah itu tidak datang lagi tanpa keterangan, ada pula yang ditinggal mutasi tanpa pengganti. 

Hati prajurit mana yang tega membiarkan situasi tetap seperti itu, tidak berbuat apa-apa sampai para prajurit selesai penugasan untuk diganti lagi dengan satgas berikutnya. Itulah panggilan hati karena di sanubari prajurit telah terikat salah satu dari 8 (delapan) wajib TNI yaitu "membantu kesulitan masyarakat di sekitarnya".

Maka ketika di tengah masyarakat pada setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional mengemuka masalah KESEJAHTERAANGURUHONORER, setidaknya menurut penulis ada 3 persoalan yang patut dicermati, yaitu tunjangan profesi dan pengadaan guru serta konsentrasi pengadaan guru di kota besar.

a) Besaran tunjangan profesi dan pengadaan guru
Tentu ada yang memilih jalan hidup profesi guru berdasar idealisme. Namun harus diakui pula, bahwa pada dekade 80-90 saat ujian masuk mahasiswa baru, ada pula yang berkeinginan menjadi sarjana pendidikan alias guru sebagai pilihan terakhir ketika perguruan tinggi pencetak guru masih bernama IKIP.

IKIP kalah "pamor" dengan perguruan tinggi umum lainnya. Adanya kasta perguruan tinggi terasa saat ada perbedaan penyelenggaraan ujian penerimaan 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tergabung di Perintis I dan PTN lain di Perintis II. Yang tidak diterima di perintis I dan II barulah berpaling ke IKIP.

Maka sungguh tepat ketika pemerintah berupaya mengembalikan kemuliaan martabat guru dengan menetapkan adanya Tunjangan Pendidikan Profesi (TPP) dengan persyaratan penerimanya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dengan bukti sertifikasi guru. Menurut saya gairah melaksanakan tugas profesi guru meningkat, guru-guru yang semula diperbantukan ke sekolah swasta kembali ke sekolah asal karena kewajiban memenuhi jam mengajar. 

Yang berstatus guru di sekolah swasta pun juga mendapat TPP asal sudah menjalani uji kompetensi. Menurut saya, dengan peningkatan kesejahteraan finansial maka problem pengadaan untuk mengatasi kekurangan guru seharusnya sudah teratasi. Minat menjadi guru bukan menjadi pilihan cadangan lagi, apalagi IKIP sudah keren setelah bertransformasi menjadi universitas seperti PTN lainnya. 

b) Konsentrasi guru di kota besar.
Hingga kini persoalan kekurangan guru masih mengemuka dan terdapat sekolah yang masih memiliki guru honorer berpenghasilan rendah. Kompas.com mencatat di pedalaman Flores masih terdapat guru honer bergaji Rp. 85.000, sedang di Sumedang dilaporkan guru honorer ada yang digaji Rp. 300.000.

Maka dari mana mengurai benang kusut persoalan ini? Pernah penulis mendengar kisah bagaimana ketika guru-guru sekolah swasta diangkat menjadi PNS, tentu saja sekolah tersebut segera mencari guru-guru baru dan segera terpenuhi karena banyaknya SDM yang tersedia. Guru-guru baru ini pun tak lama kemudian mendapat TPP yang membuatnya masuk zona nyaman karena adanya ketetapan pendapatan.

(Sumber foto: kompas.com, 2 April 2019)
(Sumber foto: kompas.com, 2 April 2019)
Di sisi lain, penulis mencermati terus tumbuhnya sekolah- sekolah baru di kota. Sekolah-sekolah di kota juga terus menambah kelas. Tentu saja kedua hal ini pasti segera menyerap pasokan produksi LPTK, yang dapat dipastikan kualitasnya lebih bagus dan "melek" IT dari pada guru-guru di daerah terpencil yang sulit mendapat akses internet dan guru generasi lama yang gagap teknologi. 

Lulusan LPTK yang terserap di kota mungkin gamang untuk mengabdi di daerah yang sulit, tidak mau tahu bahwa prajurit TNI dengan terpaksa menggantikan peran mereka yang nyaman di kota dan mendapat jaminan TPP. Sedang sekolah-sekolah di daerah pedalaman, tertinggal, terpencil, dan terdepan Indonesia (PT3I) kekurangan guru diatasi mungkin oleh pengajar lokal/guru honorer yang dibayar saingat jauh di bawah norma beaya kebutuhan hidup dasar.

Konsentrasi SDM guru di kota inilah yang menjadi biang terjadinya maldistribusi tenaga pendidik. Jadi problem kekurangan guru dan adanya guru honorer di kawasan PT3I itu menurut saya merupakan persoalan semu.

Tol laut, infrastruktur dan anggaran sertifikasi guru
Kegamangan para pendidik untuk memenuhi panggilan tugas profesi menuju daerah PT3I mungkin terkait dengan kendala transportasi dan kondisi geografis setempat. Hal-hal tersebut meliputi cuaca-jarak antar pulau, terbatasnya moda transportasi laut dan darat, juga dominannya transportasi udara yang mahal di kawasan tertentu serta mahalnya barang kebutuhan sehari-hari. 

Tidak bisa diabaikan pula faktor keamanan di daerah tertentu karena adanya gangguan kelompok separatis bersenjata. Di P. Marore, petugas imigrasi berasal dari warga lokal, dengan demikian pelayanan publik rutin sehari-hari lebih terjamin.

Mungkin saat ini belum memenuhi semua harapan, tetapi setidaknya gambaran kendala situasi sudah lebih baik dari empat tahun yang lalu setelah pemerintah mencanangkan program tol laut dan pembangunan infrastruktur di luar jawa. Sebagai contoh, Teguh Jiwa Brata mencatat bahwa beaya angkut Surabaya - Timika yang semula mencapai 11 juta kini hanya 5,7 juta (www.jawapos.com 08/12/2018). 

Tentu hal-hal tersebut membawa efek domino kepada kegiatan perekonomian lainnya karena menurunnya disparitas harga barang. Artinya kondisi tersebut membuat tidak ada alasan bagi para pendidik untuk tidak berani hidup di daerah PT3I sebagaimana telah dijalani oleh sejawat tenaga kesehatan yang bertugas di daerah sulit.

Mungkin dalam distribusi tenaga pendidik, Kemendikbud perlu mencontoh progam Nusantara Sehat yang telah dilaksanakan Kemenkes. Berapa kalipun kurikulum diganti untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tidak pernah akan bisa diterapkan bila persoalan maldistribusi guru sebagai salah satu mata rantai proses pendidikan tidak segera diatasi. Program Nusantara sehat menurut penulis setara dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anis Baswedan bersama entitas lembaga pendidikan nirlaba sejak tahun 2009. 

Langkah berikutnya adalah konsisten melaksanakan kebijakan yang mencegah guru hanya menumpuk di kota dan mencegah sekolah swasta mengajukan tambahan TPP untuk guru tambahan karena menambah kelas baru. Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 48/2005 melarang adanya pengangkatan pegawai honorer kecuali guru dan tenaga kesehatan. 

Pengecialuan untuk dua profesi ini agar diterapkan untuk daerah P3TI. Demikian juga mekanisme Pengangkaran Pegawai dengan Perjanjian Kerja (PPPK) agar diprioritaskan untuk daerah PT3I. Dengan demikan anggaran sertifikasi di kota besar tidak perlu ditambah terus dan digeser alokasinya untuk guru honorer di kawasan PT3I.

Demikian sedikit pemikiran tentang pemerataan pendidikan dan catatan upaya meningkatkan KESEJAHTERAANGURUHONORER. Asumsi yang penulis kemukakan berdasar perbandingan dengan apa yang penulis temukan di lapangan saat penugasan dan berinteraksi dengan tenaga kesehatan di kawasan P3TI yang problemnya sama dengan yang dialami tenaga kependidikan.

Sepanjang maldistribusi guru tidak teratasi dan masih ada guru honorer bergaji rendah di daerah P3TI mungkin prajurit TNI akan tetap hadir di kelas sekolah menjadi guru bantu.

Bendungan Hilir, 040519

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun