Aktivitas prajurit TNI mendukung proses belajar mengajar sebagai guru bantu sebenarnya berangkat dari kenyataan bahwa prajurit yang sedang melaksanakan tugas kewilayahan mendapati sekolah yang kekurangan guru dengan berbagai sebab, diantaranya adalah memang belum pernah ada penempatan, ada yang pernah hadir setelah itu tidak datang lagi tanpa keterangan, ada pula yang ditinggal mutasi tanpa pengganti.Â
Hati prajurit mana yang tega membiarkan situasi tetap seperti itu, tidak berbuat apa-apa sampai para prajurit selesai penugasan untuk diganti lagi dengan satgas berikutnya. Itulah panggilan hati karena di sanubari prajurit telah terikat salah satu dari 8 (delapan) wajib TNI yaitu "membantu kesulitan masyarakat di sekitarnya".
Maka ketika di tengah masyarakat pada setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional mengemuka masalah KESEJAHTERAANGURUHONORER, setidaknya menurut penulis ada 3 persoalan yang patut dicermati, yaitu tunjangan profesi dan pengadaan guru serta konsentrasi pengadaan guru di kota besar.
a) Besaran tunjangan profesi dan pengadaan guru
Tentu ada yang memilih jalan hidup profesi guru berdasar idealisme. Namun harus diakui pula, bahwa pada dekade 80-90 saat ujian masuk mahasiswa baru, ada pula yang berkeinginan menjadi sarjana pendidikan alias guru sebagai pilihan terakhir ketika perguruan tinggi pencetak guru masih bernama IKIP.
IKIP kalah "pamor" dengan perguruan tinggi umum lainnya. Adanya kasta perguruan tinggi terasa saat ada perbedaan penyelenggaraan ujian penerimaan 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tergabung di Perintis I dan PTN lain di Perintis II. Yang tidak diterima di perintis I dan II barulah berpaling ke IKIP.
Maka sungguh tepat ketika pemerintah berupaya mengembalikan kemuliaan martabat guru dengan menetapkan adanya Tunjangan Pendidikan Profesi (TPP) dengan persyaratan penerimanya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dengan bukti sertifikasi guru. Menurut saya gairah melaksanakan tugas profesi guru meningkat, guru-guru yang semula diperbantukan ke sekolah swasta kembali ke sekolah asal karena kewajiban memenuhi jam mengajar.Â
Yang berstatus guru di sekolah swasta pun juga mendapat TPP asal sudah menjalani uji kompetensi. Menurut saya, dengan peningkatan kesejahteraan finansial maka problem pengadaan untuk mengatasi kekurangan guru seharusnya sudah teratasi. Minat menjadi guru bukan menjadi pilihan cadangan lagi, apalagi IKIP sudah keren setelah bertransformasi menjadi universitas seperti PTN lainnya.Â
b) Konsentrasi guru di kota besar.
Hingga kini persoalan kekurangan guru masih mengemuka dan terdapat sekolah yang masih memiliki guru honorer berpenghasilan rendah. Kompas.com mencatat di pedalaman Flores masih terdapat guru honer bergaji Rp. 85.000, sedang di Sumedang dilaporkan guru honorer ada yang digaji Rp. 300.000.
Maka dari mana mengurai benang kusut persoalan ini? Pernah penulis mendengar kisah bagaimana ketika guru-guru sekolah swasta diangkat menjadi PNS, tentu saja sekolah tersebut segera mencari guru-guru baru dan segera terpenuhi karena banyaknya SDM yang tersedia. Guru-guru baru ini pun tak lama kemudian mendapat TPP yang membuatnya masuk zona nyaman karena adanya ketetapan pendapatan.
Lulusan LPTK yang terserap di kota mungkin gamang untuk mengabdi di daerah yang sulit, tidak mau tahu bahwa prajurit TNI dengan terpaksa menggantikan peran mereka yang nyaman di kota dan mendapat jaminan TPP. Sedang sekolah-sekolah di daerah pedalaman, tertinggal, terpencil, dan terdepan Indonesia (PT3I) kekurangan guru diatasi mungkin oleh pengajar lokal/guru honorer yang dibayar saingat jauh di bawah norma beaya kebutuhan hidup dasar.