Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer. Pensiunan.

Ada bila berarti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kereta Api dan Keadilan Tranportasi

9 November 2024   02:56 Diperbarui: 9 November 2024   03:57 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa kali untuk  kegiatan kepramukaan di Yogyakarta saat remaja saya memanfaatkan layanan kereta api. Namun saat menjalani kuliah di Semarang saya tidak pernah memanfaatkan layanan kereta api. 

Pasukan PJKA 

Kereta api menjadi andalan setelah saya kembali dari penugasan di Timor Timur. Mutasi ke Jakarta dan keluarga di Sidoarjo membuat saya bergantung kepada jasa kereta api pada tahun 1999 - 2000.

Kereta api Kertajaya dan KA Bangunkarta membawa saya Surabaya-Jakarta atau Jombang-Jakarta setiap akhir pekan kecuali saat giliran dinas jaga.

Gerbong kereta api menyatukan kami para karyawan yang mencari nafkah di Jakarta dan bertempat tinggal di "Jawa." Kelompok kami mendapat sebutan Pasukan PJKA, Pulang Jumat Kembali Ahad.

Sebagai kereta ekonomi, KA Kertajaya selalu penuh penumpang berjubel. Bukan hanya penumpang yang sah, penumpang nontiket juga ikut memanfaatkan KA Kertajaya. 

Stasiun Cikampek tak terlupakan. Matahari belum muncul dan sisa kantuk masih ada, ketika gerbong yang sudah penuh mendadak riuh karena serbuan pedagang asongan, penjaja mie rebus kemasan, tukang semir sepatu dan pengamen. Hal ini juga lazim terjadi di setiap stasiun, tapi tidak seriuh di Cikampek yang seperti pasar mendadak. 

Stasiun Cikampek juga menjadi halte terakhir bagi penumpang nontiket untuk wajib memberi salam tempel kepada kondektur. Salam tempel juga diberikan saat berangkat dari Surabaya,  lepas dari Semarang dan Pekalongan. 

Meskipun hanya beberapa, penumpang nontiket ada juga yang bisa memanfaatkan kereta api eksekutif. Salam tempel diberikan dua kali, saat lepas dari keberangkatan pertama dan  di Pekalongan tempat pergantian tugas kondektur.

Pada tahun 2004-2005 saya mendapat tugas ke Republik Demokratik Kongo. Di Kinsasha saya melihat rangkaian kereta api dengan penumpang yang memenuhi atap gerbong. Pemandangan tersebut membuat saya teringat hal yang sama pada KRL di Jabodetabek. 

Terbit rasa malu di hati, memiliki negeri yang lebih maju dibanding Kongo, namun Indonesia belum bisa memberi kesejahteraan warganya di bidang transportasi kereta api. Demikian pula para penumpang kereta api di Indonesia seharusnya bisa lebih tertib. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun