Pada tahun 1946 pemerintah pusat mengangkat Mr. Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil Residen Surakarta. Pengangkatan dua orang yang berasal dari golongan Nasionalis ditentang oleh golongan komunis.
Akibatnya kedua pejabat tersebut tidak dapat melaksanakan tugas karena pada tanggal 9 November 1946 diculik oleh golongan tertentu. Gerakan lokal yang berhaluan komunis lalu mengangkat tokoh lain menduduki jabatan kepala daerah Surakarta..
Bila Jendral Mayor Mohammad dan Sutan Sjahrir selamat dari penculikan, tidak demikian nasip dr. Muwardi. Pada tahun 1948 Pemimpin Barisan Banteng Republik Indonesia itu diculik kelompok tertentu setelah  melaksanakan tindakan operasi kepada seorang pasiennya di rumah sakit Solo <3>.
Dokter Muwardi hilang misterius di tengah situasi kota Solo yang tidak aman karena pertentangan golongan nasionalis dengan komunis. Makam dokter spesialis THT itu  pun tak diketahui hingga kini. Oleh pemerintah dr. Muwardi mendapat anugerah gelar pahlawan nasional pada tahun 1964.
Bagaimana dengan penculikan oleh G30S/PKI pada 1965? Dari memoar Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, Salim Said menyimpulkan bahwa aksi penculikan merupakan modus penting dalam perubahan elite di zaman ketika masih menggunakan aturan main revolusi.
Yani dan para pembantunya di Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) akan diculik untuk dihadapkan kepada Sukarno. Mungkin dengan tuduhan tidak loyal menjalankan kebijakan Panglima Tertinggi. Dengan cara dan alasan tersebut, Jenderal Yani selanjutnya akan digantikan oleh jenderal pilihan Soekarno.
Namun kenyataan di lapangan tidak seperti rencana, penculikan berubah menjadi pembantaian (Said SH, 2018 : 137-138). Peristiwa ini melahirkan berbagai teori dalang peristiwa G30S/PKI sebagai tragedi berdarah nasional (kompas.com, 30/9/2023). Ada yang menuduh dalangnya PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, hingga Amerika Serikat melalui CIA-nya.
Ibu Pertiwi hamil tua
Indikasi yang menunjuk PKI menjadi dalang perencana G30S di antaranya adalah pernyataan Ketua PKI DN Aidit dan Menlu Subandriyo. Juga terdapat pernyataan wakil sekjen PB Front Nasional, Anwar Sanusi pada akhir September 1965 bahwa "Kita sedang dalam situasi di mana Ibu Pertiwi sedang hamil tua."
Anwar Sanusi sebagai anggota Politbiro Central Committee (CC) Â Partai Komunis menyatakan dukun bayi sudah siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan bayi yang sudah lama dinanti-nantikan. Bayi yang dimaksud adalah kekuasaan karena PKI mengincar menang dalam pemilu yang direncanakan pada tahun 1970. Â
Saat itu terjadi krisis ekonomi dan degradasi wibawa Presiden di tengah isu kemunduran kesehatannya, sementara poros Jakarta-Beijing sedang intensif dibangun. Inilah kondisi yang disebut Sanusi sebagai ibu Pertiwi sedang hamil tua.
Meskipun pernah gagal pada tahun 1948, PKI ingin megulang merebut kekuasaan. Tak sabar menunggu melalui proses persalinan lewat jalan lahir normal dengan pemilu 1970, bayi kekuasaan harus dilahirkan dengan perebutan kekuasaan. Ibu pertiwi yang hamil tua dibantu melahirkan dengan tindakan operasi yang lazim disebut Seksio Sesaria atau operasi sesar.