Ar rijaalu qawwaamuuna ‘alannisaa…
(An Nisa: 34)
Suatu ketika, dalam sebuah forum bernama syuro’, terdengar seorang akhwat mengambil nafas berat.
“Yah, pada akhirnya ar rijalu qawwamuna ‘alannisa. Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan.”
Lantas palu diketok, tentu saja bukan palu yang sebenarnya, hanya simbolis. Syuro’ kali ini memutuskan akh A yang akan kita usung dalam bursa calon ketua organisasi di hajatan besar musyawarah akbar bulan depan.
Dua puluh menit sebelumnya, terjadi perdebatan yang cukup sengit antara dua kubu. Yang mana yang lebih berkapasitas? Tentu saja jangan dibayangkan bahwa perdebatan ini seperti perdebatan antar anggota syuro’ di organisasi-organisasi kalian. Yang namanya fakultas Farmasi, kaum hawa lebih mendominasi kaum Adam. Jadi, wajar jika muncul wacana akhwat yang hendak ‘diajukan’.
Dan…beberapa jam yang lalu, aku kembali mendengar ayat itu dibacakan. Dalam forum yang tak sama tentunya. Ia muncul dalam perspektif yang berbeda.
Kata “qawwam” dalam ayat ini tak semata berarti “pemimpin”. Ia lebih dekat pada asal kata ‘qama’ yang berarti ‘to stand or to make something stand or to establish something’ dan juga kata ‘qa’im’ yang berarti ‘one who stands or makes something stand’.
Kata “qawwam” ini nyaris tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Itulah sebab, tak ada yang benar-benar menterjemahkannya sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Qawwam, boleh jadi ia bermakna menegakkan agama atau menegakkan sholat. Ia pun bisa bermakna secara kontinyu terlibat dalam sebuah aksi ‘menegakkan’.
Maka ketika dikatakan bahwa “ar rijaalu qawwamuunaa ‘alannisaa”, ayat ini sama sekali tak menyiratkan makna bahwa laki-laki boleh berkuasa terhadap perempuan seperti apa yang mereka –kaum feminis- tuduhkan pada orang-orang muslim. Ayat ini sesungguhnya memberikan informasi bahwa laki-laki itu pelindung, pengayom, penegak bagi perempuan. Ibarat tulang rusuk yang bengkok, maka perempuan terkadang harus diberikan nasihat. Di sinilah porsi laki-laki, menasihatinya agar tetap berada pada jalan kebenaran.
Dalam Al Qur’an, kata qawwam is almost always present an idea of propriety. Ia juga dipahami sebagai characterized by fairness.
Thus to be a qawwam over something or someone is to guard, maintain or take care of that something or someone in a proper and fair manner.
Amat kejam apabila mereka –kaum feminis- itu menjadikannya senjata untuk menyerang kaum muslim. Mengartikannya secara saklek agar perempuan beranggapan bahwa ia ada pada pihak yang ‘dikuasai’. Padahal sesungguhnya ayat ini justru menegaskan kedudukan seorang perempuan yang begitu mulia dalam Islam.
Allah tidaklah melihat hamba-Nya dari jenis kelamin, warna kulit, suku, atau bangsanya. Tetapi ketaqwaan-lah yang membedakan kedudukan setiap manusia di hadapan-Nya.
Sungguh, tidaklah punya hujjah mereka yang mencoba menghasut agar perempuan muslim ‘keluar’ dari fitrahnya atas nama kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, wanita karir. Silakan berkarya wahai para muslimah, asalkan kalian tidak lupa pada tugas utama, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai saudara perempuan, juga sebagai anak perempuan. Sesungguhnya Islam itu memudahkan, tak pernah menyulitkan, jika kau percaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H