Semakin menarik untuk membahas mengenai Irshad Manji, usai kutuliskan sebuah artikel di Kompasiana kemarin. Alasan pertama, tulisanku itu masuk halaman pertama pencarian mesin Google dengan kata kunci ‘irshad manji ditolak UGM’. Alasan kedua, ternyata ada respon positif dari pihak yang kontra terhadap opiniku mengenai Irshad Manji ini. Sebagai orang koleris, hal ini kuanggap menarik, ada ‘lawan’ yang jadi tantangan.
Sebagai informasi saja, tahun lalu, tepatnya ketika Jogja dihebohkan dengan adanya agenda nonton bareng film gay di XXI dan sejumlah tempat lainnya (salah satunya sebuah universitas swasta di Jogja), aku menuliskan artikel mengenai agenda ini. Kupikir tidak akan terdeteksi mempertimbangkan blog ini masih seumur jagung (kala itu), lagipula tulisanku hanya sekedar menyampaikan opini mengenai kegiatan ‘aneh’ tersebut. Di luar dugaan, tulisanku itu mendapat sambutan hangat dari anonim yang mengatasnamakan kaum gay. Dalam komentarnya, ia menyatakan bahwa aku dianggap sedang menyusun kekuatan (basis massa) untuk menyerang mereka dan mencecarku habis-habisan dengan argumentasinya.
FYI: postingan mengenai hal ini sudah kuhapus dengan berbagai pertimbangan, termasuk salah satunya ketika sehari setelah postingan kuterbitkan, aku sempat membaca surat dari FUI Jogja tentang pernyataan sikapnya yang tidak menghendaki perlawanan frontal.
Dan mengenai tulisanku yang kemarin, awalnya aku sedikit curiga ketika mendapat tanggapan dari seorang kompasianer. Usut punya usut, ternyata dia ini berada pada pihak yang kontra terhadap pembatalan diskusi Irshad Manji di UGM.
Kupikir-pikir, semakin hari kok manusia semakin keblinger dengan akalnya yang sangat terbatas itu ya? Atas nama kebebasan berpikir atau malah freedom of speech maka mereka mendewakan kemampuan otaknya, mengindahkan wahyu Tuhan yang seharusnya menjadi pegangan hidup (minhajul hayah). Tengok saja pendapat miring orang-orang yang kemudian berargumen bahwa UGM melakukan kesalahan besar ketika menolak diadakannya diskusi Irshad Manji.
Pasca pembatalan diskusi yang diselenggarakan oleh Center of Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM tanggal 9 Mei lalu, Irshad Manji menyatakan kekecewaannya. Pelarangan diskusi itu patut disayangkan sebab Indonesia saat ini sudah ada kebebasan sehingga seharusnya hal itu bisa dimanfaatkan dengan baik atau berlanjut. Namun kenyataannya ada pelarangan kegiatan yang bersifat intelektual. Seharusnya bukan pelarangan tapi berdialog. Kalau tidak ada dialog itu hanya indoktrinasi.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana UGM Prof Dr Hartono menyatakan bahwa UGM membatalkan diskusi Irshad Manji dengan pertimbangan nilai-nilai yang dipegang UGM dan dampaknya di masyarakat. Mudharatnya dinilai lebih banyak ketimbang manfaatnya.
Mudharate kakehan, kurang barokah. Dadine ora apik.
Meskipun Irshad Manji hanya sekadar diskusi atau tukar pikiran saja? “Diskusi itu bisa jadi penyebaran paham kalau pesertanya belum siap. Karena pesertanya belum tentu punya nilai luhur yang kuat,” kata pak Hartono.
Tak kalah menarik pernyataan Ahmad Dhani, pentolan band Dewa 19 di dalam twitternya menolak pelarangan Irshad Manji untuk berbicara di Indonesia, berdalih bahwa Allah saja membiarkan iblis beraksi di muka bumi, sehingga kita tidak perlu mempersoalkan orang-orang yang sesat. Haha, luar biasa argumen antek Yahudi ini. Lantas mana kewajiban kita ber-amar ma’ruf nahi munkar?
Ngomong-ngomong soal kebebasan akademik yang dijadikan alasan oleh pihak-pihak yang kontra mengenai pembatalan diskusi Irshad Manji di UGM ini, sebenarnya sudah termaktub dalam pasal 22, UU Sisdiknas, UU No. 20/2003: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik secara otonomi keilmuan.” Logikanya sederhana saja, kebebasan itu bukan bebas dalam artian sebebas-bebasnya, tapi kebebasan yang terbatas. Terbatas pada tujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan keilmuan masing-masing.