Dia berdiri bersandar di bawah pohon mangga yang rantingnya jarang-jarang. Sesekali ia menunduk, sesekali juga kakinya tak mau diam bermain-main dengan tanah yang ia pijak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua yang sudah ubanan, menatapnya lekat seperti hendak menghakimi. Tapi kemudian raut muka perempuan tua itu berubah. Kini nampak sedikit lembut, meskipun kesan ketegasannya tak pudar.
“Kenapa gak mau pulang, Nduk?” suaranya bergetar, sedikit menahan kemarahan.
Gadis kecil di depannya tak segera menjawab, justru kepalanya semakin tertunduk dalam. Berpuluh menit yang lalu, neneknya itu mencarinya di rumah tetangga, hendak mengajaknya pulang. Si gadis kecil tak langsung pulang ke rumah usai sekolah siang tadi, tetapi bermain di rumah tetangganya hingga menjelang senja. Ia memang berniat tak hendak pulang. Ini untuk pertama kalinya.
Ini untuk pertama kalinya ingin pergi dari rumah. Ini untuk pertama kalinya ia berani melawan kata-kata orang tua. Ini untuk pertama kalinya ia merasakan kesedihan yang mendalam, yang tak sanggup lagi ia tahan-tahan. Ini untuk pertama kalinya ia benci orang dewasa.
Gadis kecil itu masih tetap diam, meskipun neneknya berulang kali menghela nafas panjang, seperti ikut merasakan kepedihan yang kini bergejolak di hati cucu perempuannya itu.
“Simbah ngerti, Nduk. Simbah ngerti. Tapi kamu pulang ya… Ini sudah sore, gak baik anak gadis bermain di luar.” Perempuan tua itu mendekat, mengusap rambut keriting sang cucu, memeluknya.
Gadis kecil itu balas memeluk, terisak-isak ia menahan tangis, air matanya sudah tak mampu lagi dibendung. Ia ingin menangis sepuasnya, melepaskan amarah, melepaskan kebencian, melepaskan kesedihan. Ah, gadis kecil kelas 2 SD itu sudah harus tau tentang urusan orang dewasa.
Peduli apa ia dengan prestasinya yang gemilang. Selalu ranking 1 di kelas, menjadi siswi paling disayangi guru, sering didelegasikam dalam perlombaan menulis tingkat SD. Banyak orang memuji kecerdasannya, sikapnya yang baik, tak sekalipun berbuat nakal pada kawan-kawannya. Tapi di balik pribadinya yang pendiam, perilakunya yang introvert dan solitaire itu, ia menyembunyikan luka. Luka yang teramat dalam digoreskan oleh orang tuanya.
Siapa yang tahan dengan suasana rumah yang tak menyenangkan? Bukan karena rumahnya teramat sederhana, sungguh bukan karena itu. Tapi karena rumah itu setiap harinya diliputi oleh amarah, setiap harinya terdengar caci maki, setiap harinya barang pecah belah hancur dilemparkan tangan-tangan yang kalap, setiap harinya terdengar isak tangis, setiap harinya dihiasi dengan ketakutan.
Siapa yang tahan dengan raut muka tak menyenangkan? Dengan mata yang memerah nanar, dengan deru nafas yang memburu, dengan detak jantung yang bagaikan genderang perang ditabuh, dengan tangan kasar yang setiap saat bisa saja menyakiti.
Siapa yang tahan dengan pemandangan tak menyenangkan? Melihat dua orang saling memaki, melihat dua orang saling tuding. Yang satu melemparkan bantal pada yang lain, menyabetkan handuk pada yang lain. Atau tiba-tiba lampu rumah padam meski rumah tetangga tetap menyala. Juga pintu yang dibanting.