Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, menyebut masalah ini berakar pada kurangnya regulasi perlindungan data di Indonesia. Meskipun UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) seharusnya menjadi dasar hukum, banyak lembaga pemerintah belum sepenuhnya mematuhi ketentuan ini. Rentannya perlindungan data pribadi di institusi publik berdampak pada kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data.
Literasi digital masyarakat yang kurang memperburuk situasi ini. Banyak warga belum memahami pentingnya menjaga keamanan data pribadi, sehingga rentan terhadap serangan siber. Dengan berbagai kasus kebocoran data dan kelemahan penerapan UU PDP, terlihat bahwa ketergantungan Indonesia pada layanan digital harus diimbangi dengan langkah-langkah efektif untuk menjaga keamanan data dan meningkatkan literasi digital. Upaya memperkuat regulasi dan kebijakan keamanan siber menjadi sangat penting untuk masa depan ekonomi digital yang aman dan berkelanjutan.
Masyarakat yang Trust IssueÂ
Kabar serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional (PDN) mengembalikan trauma terhadap perlindungan data pribadi, termasuk data nasabah di industri perbankan. Pada Mei 2023, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) mengalami serangan siber ransomware yang melumpuhkan sistem layanan digital mereka selama beberapa hari.
Kasus BSI adalah contoh nyata tantangan besar dalam keamanan siber, menciptakan trust issue yang mendalam di kalangan masyarakat. Serangan tersebut tidak hanya mengganggu layanan perbankan, tetapi juga menyebabkan ketidaknyamanan dan kerugian bagi nasabah, serta merusak reputasi BSI sebagai lembaga keuangan terpercaya. Insiden ini membuat nasabah kesulitan mengakses layanan perbankan dan meningkatkan kekhawatiran mengenai keamanan data pribadi mereka, yang berdampak pada ketidakpercayaan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan
Ketika lembaga perbankan mengalami insiden besar seperti ransomware, dampaknya melampaui kerusakan fisik atau digital. Kepercayaan masyarakat, yang merupakan fondasi utama sistem perbankan, bisa hancur dengan cepat. Kehilangan kepercayaan ini dapat menyebabkan nasabah menarik dana secara massal, menurunkan likuiditas bank, dan memperburuk krisis kepercayaan di sektor perbankan.
Selain itu, ketidakpercayaan pada satu bank bisa meluas ke seluruh sistem perbankan, membuat publik meragukan keamanan lembaga perbankan lainnya. Hal ini memicu biaya tinggi untuk memperbaiki reputasi, termasuk pengeluaran untuk teknologi keamanan baru, audit lebih sering, dan kepatuhan terhadap regulasi yang lebih ketat.
Kerusakan reputasi juga menjadi masalah besar, yang dapat memengaruhi hubungan dengan nasabah dan mitra bisnis serta menyebabkan skeptisisme berkelanjutan terhadap keamanan lembaga perbankan. Krisis kepercayaan ini dapat berdampak pada ekosistem fintech yang bergantung pada bank sebagai mitra dan, dalam skala yang lebih luas, dapat memicu risiko sistemik yang menyebabkan kekacauan pasar dan potensi krisis ekonomi
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengonfirmasi bahwa serangan pada PDN tidak akan mempengaruhi industri perbankan karena sektor ini telah memperkuat sistem keamanannya sejak insiden BSI. Menurutnya, otoritas dan industri perbankan telah melakukan perbaikan yang signifikan dalam hal aturan dan enforcement untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Namun, meski ada upaya perbaikan, trust issue masyarakat tetap menjadi tantangan besar. Insiden BSI menunjukkan betapa satu serangan siber besar dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Untuk membangun kembali kepercayaan publik, penting untuk terus memperkuat regulasi, meningkatkan literasi digital, dan memastikan transparansi dalam penanganan insiden keamanan siber.
Kedepannya bagaimana?