Mohon tunggu...
Petrus Teguh
Petrus Teguh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Afi, Plagiarisme dan Toleransi Agama

1 Juni 2017   13:18 Diperbarui: 1 Juni 2017   19:35 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

‘Warisan’, sebuah tulisan yang diciptakan oleh Afi Nihaya Faradisa pada 8 Desember 2016 telah sukses membuat namanya melambung tinggi. Ia menjadi sosok yang viral selama beberapa pekan ini, banyak yang memuji, namun tidak sedikit juga yang mencibir. Atas karyanya tersebut, siswi kelas III SMA Negeri 1 Gambiran Banyuwangi tersebut bahkan diundang untuk menjadi bintang tamu di Televisi Nasional, dan sempat menjadi pembicara di beberapa perguruan tinggi. Berikut adalah isi dari tulisan ‘Warisan’ oleh Afi :

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.

Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.

Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.

Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.

Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.

Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.

Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.

Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.

Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.

Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,

memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."

Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.

Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.

Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.

Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".

Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?

Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.

Tapi tidak, kan?

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?

Tidak!

Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.

Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.

Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.

Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lainHanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.

Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.

Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan. Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.

Untuk ukuran seorang anak SMA, Afi merupakan sosok yang sangat menonjol. Ia memiliki empati dan jiwa kritis yang bahkan belum tentu dimiliki oleh orang yang sudah dewasa. Dia sudah aktif menulis sejak tahun 2012 melalui media Facebook. Tulisan-tulisannya memang merepresentasikan sosok yang kritis dan peduli terhadap realitas yang ada di sekitarnya. Namun, beberapa hari ini ada tudingan yang menyatakan bahwa Afi melakukan plagiarisme terkait tulisannya yang berjudul ‘Belas Kasih dalam Agama Kita’. Tulisan Afi tersebut diposting pada tanggal 25 Mei 2017. Afi dituduh melakukan plagiarisme terhadap tulisan yang dibuat oleh Mita Handayani. Mita Handayani sendiri memiliki tulisan mirip yang telah diposting sejak 30 Juni 2016.

Mengutip dari Kompas.com, Bayu, salah satu Tim Kompas Tv sempat menanyai Afi terkait tudingan tersebut. Afi menanggapi dengan tegas “Mita Handayani, minta konfirmasi aja sama akun Mita Handayani”. Afi mulai terlihat sedih, matanya berkaca-kaca, tetapi dia tetap menjelaskan mengenai dugaan plagiarisme tersebut. (sumber)

Saya tidak berusaha membela Afi, tapi menurut subyektivitas saya pribadi saya lebih percaya bahwa Afi tidak melakukan plagiasi. Silahkan periksa sendiri tulisan-tulisan Afi, dan bandingkan dengan tulisan-tulisan Mita Handayani. Silahkan dicermati terlebih dahulu sebelum menghakimi. Tulisan merupakan salah satu media representasi diri & ekspresi pemikiran, kita akan tahu pola pikir seseorang dari tulisan yang dibuat, kita juga mungkin akan tahu apakah tulisan itu merupakan plagiasi atau tulisan murni. Tapi sekali lagi, ini hanya berdasarkan subyektivitas pribadi, kita semua punya argumen masing-masing, dan berbeda itu wajar.

Terlepas dari bahasan plagiarisme, saya sangat terinspirasi dari sosok Afi karena selain menuai beragam respon negatif, bahkan ada ancaman-ancaman akan dibunuh, dia tetap mempertahankan argumennya dan mengatakan ‘saya tidak takut’.

Dari komentar-komentar negatif yang saya lihat terkait tulisannya, saya menyimpulkan bahwa kebanyakan orang-orang yang memberi komentar negatif merupakan orang-orang Etnosentrisme (dalam lingkup agama). Orang cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing dan tidak taat agama, dan memandang serta mengukur agama asing dengan agamanya sendiri. Tapi sekali lagi, ini hanya berdasarkan asumsi saya pribadi.

Saya tidak tahu apakah Afi merupakan orang yang taat beragama atau tidak, tapi itu juga bukan topik bahasan dari tulisan ini. Yang saya lihat adalah, Afi memiliki pemahaman bahwa kaum minoritas, kaum yang berbeda dari mayoritas punya kebenarannya tersendiri dan ia menghormati (toleransi) serta memiliki empati untuk itu. Toleransi akan berbuah kedamaian, sedangkan etnosentrisme (dalam lingkup agama) akan berbuah perpecahan, apalagi kita tinggal dinegara multikultural.

Agama memang suatu hal yang sangat krusial, yang memberi identitas bagi tiap-tiap pemeluknya, namun itu harusnya membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih positif. Seharusnya orang yang beragama tidak menjadi orang yang suka menghakimi satu sama lain, membully, dan menghina orang yang berbeda. Belum tentu orang yang menghakimi atau menghina memiliki kehidupan yang lebih baik dan terpuji daripada orang yang dihakimi atau dihina. Membahas agama memang hanya bisa dilakukan pada orang-orang yang agamanya sama. Tapi bisa juga dengan orang-orang yang agamanya berbeda namun memiliki tingkat toleransi yang tinggi, sayangnya jumlah orang-orang seperti itu tidak banyak.

Untuk Afi, tetap semangat dalam menghadapi komentar-komentar pedas. Sama seperti pesan yang disampaikan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang mendorong Afi untuk terus menulis dan memberi inspirasi, saya juga mendukung Afi untuk terus membuat tulisan-tulisan positif lainnya.

Sukses Afi !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun