Mohon tunggu...
Putri Amanda Pratiwi
Putri Amanda Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi FIS UNJ

Pendidikan Sosiologi 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengemis Bentuk Kemiskinan

25 Desember 2021   14:24 Diperbarui: 25 Desember 2021   14:27 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa. Namun, banyaknya jumlah penduduk tersebut, masih banyak rakyat yang memiliki tingkat ekonomi yang buruk. BPS merilis hasil data pada 15 Juli 2021, Indonesia memiiki penduduk miskin berjumlah 27,54 juta jiwa.

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang dapat dikatakan sebagai masalah multidimensi. Mengapa dikatakan sebagai masalah multidimensi? Karena permasalahan kemiskinan tidak hanya berbicara perihal kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) saja, tetapi juga berangkaian dengan kebutuhan lainnya (Sudibia dan Marheni, 2013). Pelbagai agenda sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, tetapi hal tersebut belum memadai untuk menanggulangi kemiskinan yang terjadi (Daridarwani, 2014). Kemiskinan dapat dilihat melalui masih banyaknya masyarakat yang memiliki pendapatan ditingkat bawah pendapatan riil minimum (Budhi, 2013).

Pengemis menjadi salah satu pilihan bagi para pengangguran yang tidak memiliki keterampilan dan tidak ingin berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Pengemis merupakan salah satu kegiatan yang tidak diperbolehkan oleh pemerintah, tetapi pada kenyataannya msaih banyak orang yang memilih menjadi seorang pengemis. Pengemis berkegiatan meminta-minta uang di muka umum setiap harinya. Dengan mencari-cari belas kasihan kepada orang-orang yang mereka lihat kelas sosialnya berada di atas mereka. Namun, pengemis ini bukanlah hanya menjadi fenomena sosial, melainkan bagi sebagian orang, kegiatan ini sudah menjadi mata pencahariannya.

Pada tulisan kali ini, penulis ingin menjelaskan teori struktural fungsional memandang kemiskinan dan juga teori dramaturgi melihat perilaku pengemis.

Kemiskinan

Kelas sosial atas memililki kekayaan dan kesejahteraan finansial yang sangat baik, berbeda dengan kelas bawah yang kondisi ekonominya bisa dikatakan sulit. Masyarakat jadi tidak setara dalam berbagai hal, rakyat miskin susah untuk dapat bersekolah, jika sakit juga tidak semudah rakyat kaya untuk berobat. Kemiskinan juga dapat dilihat sebagai keadaan yang kompleks. Hal tersebut dapat diketahui dengan ketidakmerataan pembangunan di Indonesia yang masih berpusat di kota-kota besar. Di kota-kota besar sudah banyak ditemukan fasilitas yang layak seperti kesehatan dan pendidikan. Berbeda dengan daerah pedesaan terpencil yang tidak dapat merasakan fasilitas yang cukup.

Ketidakmerataan ini juga dapat diartikan sebagai kesenjangan antara kelas sosial dan juga kelas ekonomi yang terjadi antara desa dan kota. Kemiskinan dipandang dari teori struktural fungsional karena terdapat ketidakfungsian di bidang ekonomi. Teori struktural fungsional berfokus pada keteraturan dan mengabaikan konflik dan juga perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Teori Talcott Parsons ini memiliki arti semua bagian harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Jika satu bagian saja tidak ada maka akan terjadinya guncangan. Semua komponen tersebut akan saling bergantungan antara satu bagian dan bagian lainnya. Ketika terjadi ketidakseimbangan maka dengan sendirinya akan hilang dan digantikan dengan yang lain.

Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang mana masing-masing sub sistem tersebut memiliki fungsinya masing-masing dan juga saling ketergantungan. Kemiskinan dipandang dari teori struktural fungsional karena terdapat ketidakfungsian di bidang ekonomi. Penyebab kemiskinan ini ialah sistem, yang mana terdapat pihak yang diuntungkan dan juga terdapat pihak yang dirugikan. Disfungsi tersebut terlihat dengan adanya ketimpangan ekonomi yang menyebabkan memburuknya kondisi kemiskinan, tetapi meningkatnya kekayaan kelas sosial atas.

Fenomena kemisikinan di Indonesia ini berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang mempunyai tingkat kesejahteraan sosial yang rendah di masyarakat. Misalnya, jadi banyak orang yang memilih menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Karena faktor keterbatasan kemampuan dan juga tidak ditemukannya usaha untuk mencari pekerjaan maka salah satu kegiatan yang dapat dilakukan ialah dengan meminta belas kasih dari banyak orang. Namun, pengemis ini bukanlah hanya menjadi fenomena sosial, melainkan bagi sebagian orang, kegiatan ini sudah menjadi mata pencahariannya.

Pengemis

Pengemis dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mecari penghasilan dengan cara meminta-minta di muka umum. Mereka melakukan berbagai cara dan juga alasan untuk mengharapkan rasa iba dari orang lain. Sebenarnya pengemis ialah orang-orang yang betul-betul dalam keadaan kesulitan karena tidak ada bantuan dari lingkungannya dan tidak memiliki suatu keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari pekerjaan, bukan karena rasa malas untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Strategi yang biasa dilakukan seorang pengemis dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis. Pertama, yang biasanya beraksi di perempatan jalan atau disekitaran lampu merah. Kedua,mangkal di tempat umum yang banyak orang kunjungi seperti pasar, terminal, stasiun kereta, dll. Ketiga, yang biasanya berkeliling kampung dan menghampiri rumah-rumah warga dari rumah ke rumah.

Karena bagi sebagian orang, mengemis itu merupakan pekerjaannya maka permasalahan ini dapat ditinjau melalui teori Erving Goffman, yakni teori dramaturgi. Goffman mengonsepkan dramaturgi ini sebagai pertunjukkan teater yang memiliki aktor, penonton, dan panggung yang terbagi dua menjadi front stage, dan back stage. Pengemis di sini berperan sebagai aktor dan masyarakat berperan sebagai penonton. Dan panggung tersebut ialah muka umum dan juga lingkungan rumahnya. Teori ini menekankan pada pandangan bahwa ketika individu sedang berinteraksi, ia ingin mengelola pesan yang diharapkan tersampaikan pada orang lain terhadapnya. Maka dari itu, setiap orang melakukan 'pertunjukan' bagi orang lain.

Dalam panggung depan pertunjukan (front stage), yakni di tempat-tempat umum dan untuk memerankan peran tersebut, biasanya sang aktor menampilkan perilaku tertentu serta menggunakan atribut tertentu seperti pakaian yang lusuh dan tidak memakai alas kaki dengan nada bicara yang memelas meminta belas kasih penonton. Di panggung inilah seorang aktor akan berusaha untuk menampilkan peran yang dimainkan dihadapan banyak orang dengan karakter yang berbeda dengan kepribadian asli yang dimilikinya. Dalam panggung tersebut, aktor ingin menampilkan seseorang yang hidupnya perlu bantuan uluran tangan dari orang lain untuk dikasihani.

Di panggung belakang (back stage), yakni di rumah dan lingkungan sekitar rumahnya. Di panggung ini, pengemis lebih condong memperlihatkan sifat aslinya yang sangat berbeda dengan ketika ia berada di panggung depan. Di panggung belakang lah seorang aktor lebih bersikap bikjasana dan menghilangkan kesan memelas yang ia tampilkan ketika berada di panggung depan.

Seperti yang sudah disampaikan di atas, mengemis bagi sebagian orang sudah dijadikan sebagai mata pencahariannya. Seperti artikel yang dilansir dari kompasiana.com, seorang pengemis mengaku mengemis karena lelah bekerja. Bahkan ia menargetkan untuk mendapatkan uang sebanyak Rp200 juta baru kemudian pulang ke kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat. Ia mengatakan uang tersebut akan dibelikan mobil, tetapi sebelum targetnya terpenuhi, ia sudah terkena razia. Inilah contoh kasus dramaturgi, di panggung depan ia memelas agar orang lain merasa iba, padahal ia telah memiliki uang yang sangat banyak untuk dibelikan sebuah mobil.

Solusi

Solusi yang dapat dilakukan untuk permasalahan pengemis tersebut, yakni dengan memberikan latihan dan bimbingan, menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih layak, serta diberlakukannya pengawasan. Dengan melakukan razia pun dapat meminimalisir meningkatnya jumlah pengemis dan dengan memberikan bantuan juga merupakan solusi dari permasalahan ini.

Penutup

Kemiskinan yang ada di daerah-daerah akan selalu ada di masyarakat. Karena kemiskinan tersebut, pengemis bermunculan. Kita harus tetap berusaha untuk mengentas kemiskinan dan menertibkan pengemis yang ada. Permasalahan ini tidak hanya ditanggung oleh pemerintah, tetapi juga kita sebagai masyarakat agar kemiskinan dapat diminimalisir. Pemerintah dapat mengadakan pusat pelatihan kerja dan masyarakat harus mempunyai kesadaran diri agar tidak memilih menjadi seorang pengemis serta bagi masyarakat yang mempunyai usaha dapat membuka lowongan pekerjaaan.

Daftar Pustaka

Anggraini, Ria. 2019. Pengemis tapi Tajir. https://www.kompasiana.com/r1a/5de39f96097f360f9f7a2794/pengemis-tapi-tajir (Diakses pada 23 Desember 2021, pukul 13.12 WIB)

Parwa, I.G.N. Jana Loka Adi dan I.G.W. Murjana Yasa. 2019. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Provinsi Bali. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana. 8 (5).  

Rosana, E. 2019. Kemiskinan Dalam Perspektif Struktural Fungsional. Al-Adyan, 14(1).

Siahaan, Gerhard Y. Y. 2017. Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak-Dampak Terjadinya Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sudahri, Roziqi. 2014. Dramaturgi Pengemis Frontage Road Jalan Ahmad Yani Kota Surabaya. Skripsi. Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun