Sejak dahulu, perempuan sering kali terjebak dalam definisi kecantikan. Mereka mengalami kesulitan untuk menentukan definisi "cantik" menurut dirinya sendiri.
Pada masa kolonialisme Belanda dan Jepang misalnya, kulit putih dan cerah dijadikan sebagai standar dan norma bahkan dipandang memiliki status sosial yang lebih tinggi dan dijadikan sebagai simbol kecantikan. Selain itu, dikutip dari magdalene.co pada artikel yang berjudul "Fair Skin, Pre-Colonialism Beauty Standard That Persists" disebutkan bahwa pada tahun 1950-1980, standar kecantikan di Indonesia saat itu adalah langsing, postur tubuh yang cukup tinggi, rambut hitam lurus dan panjang, serta memiliki kulit cerah.
Lantas, bagaimana dengan standar kecantikan perempuan masa kini?
Seiring dengan berkembangnya zaman, standar kecantikan di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Definisi "cantik" yang diyakini masih berpatok pada kecantikan fisik yakni tinggi, langsing tapi tidak terlalu kurus, memiliki kulit putih dan cerah, rambut lurus, dll. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya influencer yang mengampanyekan produk kecantikan yang dapat memutihkan dan mencerahkan kulit secara instan sehingga membuat kalangan perempuan berlomba-lomba untuk mendapatkan kulit putih dan cerah atau biasa mereka sebut dengan "glowing".
Bahkan tidak jarang anak sekolah tingkat SD pun turut mengikuti tren tersebut. Seperti pada akun Nisasa Channel, murid kelas 5 SD yang memberikan tutorial make up di akun YouTubenya dan sudah ditonton sebanyak 55 ribu kali. Kemudian, pada akun Tiktok @zadbaebyy, siswi SMA yang mengunggah video tutorial make up untuk pergi ke sekolah dan sudah disukai sebanyak 211, 7 ribu penonton.
Tidak hanya itu, bertambahnya peminat hiburan K-pop di tanah air ternyata berdampak pada periklanan produk kecantikan di Indonesia. Para artis dari "negeri ginseng" tersebut justru banyak dijadikan sebagai model dalam rangka mempromosikan produk kecantikan di tanah air. Padahal, secara ras dan ciri fisiknya jauh berbeda. Perempuan Indonesia cenderung memiliki ciri khas warna kulit yang beragam dimulai dari putih, kuning, sampai dengan sawo matang sebagai bagian dari ras mongoloid.
Alasan lain kenapa standar kecantikan masih saja melekat yaitu karena adanya body shaming yang sering kali dilontarkan baik di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari. Dalam dunia entertainment misalnya, hujatan seperti "kamu kok kelihatan gendut" atau "kakak aslinya pendek ya?" sering kali dialami oleh beberapa public figure di Indonesia seperti Prilly Latuconsina, Maudy Ayunda, Tasya Kamila, dll, di masing-masing akun media sosial mereka. Bahkan, tidak jarang masyarakat biasa pun turut mengalaminya. Dalam hal ini, perempuan seakan hidup dalam tirani opini orang-orang disekitarnya.
Perkembangan teknologi secara masif yang membawa kita pada kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (post-truth) dapat berdampak pada bagaimana perempuan memaknai kecantikan itu sendiri. Hal tersebut tentu dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri, ketidakpuasan, dan berujung membentuk pola pikir seperti "aku akan lebih cantik kalau kulitku sedikit berwarna putih, alisku sedikit lebih tebal, atau akan lebih cantik jika sedikit lebih kurus".
Hal ini dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang cenderung memilih menggunakan filter saat memotret dirinya sendiri, kemudian mengunggahnya di media sosial. Bahkan demi menutupi kekurangan, sebagian orang rela mengubah bentuk wajahnya baik dengan make up ataupun melakukan operasi kecantikan hanya untuk memenuhi standar kecantikan yang berlaku. Padahal, citra, gambar, atau penanda tidak selalu menggambarkan kondisi sebenarnya.
Pada akhirnya, ketika memilih mengikuti standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat, kebahagiaan yang didapat pun bersifat semu karena jika standar manusia yang diikuti, maka tidak akan pernah ada habisnya. Bukan berarti tidak peduli terhadap penampilan, akan tetapi perbedaan fisik yang ada bukanlah sebagai ajang kompetisi agar terlihat lebih superior ketika kita memiliki kecantikan yang ideal.
Adanya perbedaan fisik mengajarkan kita agar dapat memahami bahwa setiap individu itu unik. Cantik tidak hanya sebatas fisik, tetapi juga energi yang dikeluarkan dan dirasakan oleh orang disekitarnya. Tidak perlu khawatir dengan fisik yang tidak sesuai dengan standar karena Tuhan sudah menciptakan makhluknya dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Terimalah segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirimu, kenali potensi diri dan bersyukurlah, maka kamu akan menemukan definisi cantik versi dirimu sendiri.
Referensi:
Floretta, V.D.J. (2022). Fair Skin, Pre-Colonialism Beauty Standard That Persists. Available at: https://magdalene.co/story/fair-skin-pre-colonialism-beauty-standard-that-persists/ (Accessed: Juli 30, 2023).
Lainufar, Inas Rifqia. (2023). 7 Artis Wanita yang Pernah Alami Body Shaming, Nomor 6 Justru Termasuk Perempuan Tercantik di Dunia. Available at: https://www.inews.id/lifestyle/seleb/7-artis-wanita-yang-pernah-alami-body-shaming-nomor-6-justru-termasuk-perempuan-tercantik-di-dunia (Accessed: Juli 30, 2023).
Syuhada, Kharisma Dimas. (2017). Etika Media Sosial di Era “Post Truth”. Jurnal Komunikasi Indonesia, V (1), 75-79.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H