bantuan bibit perkebunan di Kota Tidore Kepulauan telah tepat sasaran, namun implementasinya belum optimal. Dukungan bimbingan dan pengawasan yang kurang memadai menyebabkan banyak bibit yang tidak ditanam sesuai harapan. Selain itu, keterbatasan informasi dan infrastruktur bagi kelompok tani (Gapoktan) di Kecamatan juga berperan dalam menurunkan efektivitas program.Latar Belakang:Â
Kebijakan pemberianPertanian memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, termasuk di Kota Tidore Kepulauan. Mayoritas masyarakat di Kecamatan bergantung pada perkebunan sebagai sumber pendapatan utama, namun keterbatasan dalam akses informasi, infrastruktur, dan teknologi menghambat potensi sektor ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan bantuan bibit, pola tanam, produktivitas, serta kendala distribusi hasil perkebunan guna memberikan rekomendasi bagi pengembangan sektor ini.
Metode Penelitian:Â
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif, di mana wawancara mendalam dilakukan dengan 35 peserta, termasuk pejabat pemerintah, petani, dan pemangku kepentingan lainnya. Data yang dikumpulkan dianalisis secara tematik untuk mengidentifikasi pengaruh politik lokal, keterbatasan anggaran pemerintah, serta kendala lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Hasil Penelitian:
Pemberian Bantuan Bibit Perkebunan: Pemerintah Kota Tidore memberikan bantuan bibit seperti pala, cengkeh, dan kelapa melalui kelompok tani. Namun, program ini tidak didukung dengan penyediaan pupuk, obat-obatan, atau alat pertanian yang memadai. Akibatnya, petani hanya mengandalkan metode tradisional seperti tebas dan tanam dengan pemeliharaan minimal.
Pola Tanam Perkebunan:
Di Kecamatan, terdapat dua pola tanam: monokultur dan polikultur. Pola monokultur biasanya hanya menanam satu jenis tanaman, seperti kelapa, sedangkan polikultur menggabungkan beberapa tanaman seperti kelapa dan pala. Namun, tanpa dukungan teknologi dan pengendalian hama, produktivitas tanaman tidak optimal.
Pemasaran dan Distribusi Hasil Perkebunan:Â
Produk kelapa, khususnya kopra, memiliki permintaan pasar yang luas di tingkat lokal dan internasional. Sayangnya, proses distribusi yang panjang dan biaya tinggi membuat pendapatan petani menurun. Para petani cenderung tergantung pada pengusaha lokal yang membeli hasil panen dengan harga lebih rendah dibanding harga pasar.
Produktivitas dan Tantangan:Â
Meskipun kopra adalah komoditas utama yang dihasilkan di Kecamatan, fluktuasi harga dan biaya produksi yang tinggi menjadi tantangan utama bagi petani. Kurangnya akses terhadap alat dan teknologi modern juga membatasi peningkatan produktivitas. Selain itu, kendala transportasi seperti akses jalan yang terbatas turut menambah biaya distribusi hasil perkebunan.
Peran Gapoktan dan Pemerintah Daerah:Â
Gapoktan di Kecamatan seharusnya memiliki peran sentral dalam mendukung petani, namun keterbatasan informasi dan fasilitas menghambat kontribusinya. Pemerintah setempat disarankan untuk meningkatkan peran Gapoktan dan memperbaiki infrastruktur untuk mendukung distribusi dan pemasaran produk perkebunan.
Rekomendasi: Berdasarkan temuan di atas, pemerintah disarankan untuk:
Memberikan bimbingan dan pengawasan yang lebih intensif terhadap petani penerima bantuan bibit.
Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana, seperti penyediaan pupuk dan alat pertanian.
Mengembangkan akses pasar langsung untuk meningkatkan posisi tawar petani.
Mendorong investasi di sektor perkebunan untuk memperpendek rantai distribusi.
Melalui implementasi yang tepat dari kebijakan-kebijakan ini, diharapkan sektor perkebunan di Kota Tidore Kepulauan dapat lebih produktif dan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Source:https://ilomata.org/index.php/ijss/article/view/873
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H