Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Revisi PM 32 Tahun 2016 Harusnya Bisa Menjadi Titik Awal Pembenahan Transportasi Nasional

29 Maret 2017   17:51 Diperbarui: 3 November 2017   08:57 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tepat 1 April 2016 mendatang, pemerintah melalui Kementrian Perhubungan akan memberlakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Tujuan pemerintah memberlakukan PM 32 tahun 2016 ini adalah agar industri transportasi darat antara yang online dan yang konvensional dapat berjalan tanpa ada gesekkan di lapangan.

Meski dokumen draft revisi PM 32 tahun 2016 tersebut masih misteri, namun dari penjelasan Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Pudji Hartanto, ada 11 point yang direvisi pemerintah agar tidak ada gesekkan antara transportasi online dan konvensional. Dari 11 point revisi tersebut ada beberapa point yang menjadi perhatian lebih bagi publik yaitu kewajiban STNK berbadan hukum, kuota jumlah angkutan sewa khusus, penetapan tarif dan pengujian berkala (KIR).

Pertimbangan pemerintah untuk menerapkan kewajiban STNK berbadan hukum, memang sangat baik. Tujuannya agar tanggung jawab penggelolaan angkutan berbasis aplikasi ini jelas. Namun di sisi yang lain, penerapan kewajiban STNK berbadan hukum tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari ride sharing yang diterapkan dalam transportasi online.

Dalam skema transportasi ride sharing, kendaraan milik personal dapat diberdayakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan konsep ride sharing, diharapkan jumlah pengguna mobil pribadi dapat berkurang. Namun dengan kewajiban STNK berbadan hukum, konsep ride sharing yang ditujukan untuk menggurangi jumlah kendaraan bermotor dan meningkatkan utilisasi kendaraan pribadi akan tak berjalan.

Skema STNK berbadan hukum juga akan menciptakan konglomerasi baru dalam penyewaan kendaraan bermotor. Para pengusaha yang modalnya kuat akan membeli mobil untuk mendapatkan economies of scale dalam menjalankan usaha transportasi sewa tersebut. Tentu saja ini bertentangan dengan prinsip ride sharing dan prinsip untuk memberdayakan masyarakat serta menciptakan lapangan pekerjaan. Padahal hingga saat ini pemerintah masih belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya.

Jika pemerintah tetap memaksakan angkutan transportasi daring ini mengubah nama di STNK menjadi koperasi atau badan hukum, diperkirakan kasus Cipaganti dapat terjadi dikemudian hari. Dalam bentuk yang lain.

Sekadar mengingatkan saja beberapa tahun yang lalu anggota koprasi Cipaganti kehilangan dana investasi mereka pada kendaraan transportasi rute Bandung Jakarta. Dari dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum pada persidangan, pengurus koperasi Cipaganti disebutkan sejak tahun 2007 hingga 2014, telah berhasil menghimpun dana sebesar Rp 4,7 triliun dari 23.193 orang dengan jumlah simpanan mulai dari Rp 20 juta hingga Rp1,5 miliar.

Anggota koprasi Cipaganti tersebut diiming-imingin penghasilan yang besar dengan menginvestasikan dana mereka di kendaraan minibus yang melayani rute Jakarta Bandung pp. Kendaraan minibus tersebut diatasnamakan koperasi Cipaganti dengan janji akan diberikan imbal hasil yang besar dikemudian hari. Namun kenyataannya hingga kini nasib dana anggota koperasi yang berjumlah Rp 4,7 triliun tak jelas juntrungannya. Apakah Kementrian Perhubungan ingin kasus Cipaganti ini terjadi lagi?

Isu lainnya dari revisi PM 32 tahun 2016 adalah kuota jumlah angkutan sewa khusus. Berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan pengemudi online terkuak bahwa jumlah armada angkutanonline mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ini tentu saja mengurangi jumlah order yang masuk ke mitra pengemudionline. Dahulu untuk mendapatkan penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta perhari, mitra pengemudi online mudah untuk mendapatkannya. Namun kini untuk mendapatkan Rp 500 ribu perhari, mereka harus berjuang dari pagi hingga tengah malam. Ini diperparah lagi dengan penurunan bonus yang dilakukan oleh penyedia aplikasi.

Seharusnya para penyedia aplikasi seperti Grab, Uber dan Go Car dapat membuat dan menjaga supply demand di bisnis transportasi daring ini. Bukan hanya membuka pendaftaraan anggota baru sebesar-besarnya saja. Tujuannya agar pendapatan mitra pengemudi dapat terjaga dan para penyedia aplikasi bisa mendapatkan bagihasil yang optimum.

Dengan membuka terus jumlah mitra pengemudi di daerah yang telah padat, menunjukkan bahwa penyedia aplikasi telah berlaku semena-mena dengan mitra pengemudi yang telah aktif menjadi anggota transportasi daring tersebut. Ketika pendapatan mitra pengemudi terjaga, maka keberlangsungan transportasi daring juga akan terus ada. Sehingga pembatasan jumlah armada harusnya bisa menjadi regulasi yang baik bagi masyarakat pengguna dan mitra pengemudi.

Sementara itu mengenai rencana pemerintah menetapkan tarif batas atas dan batas bawah yang tertuang dalam revisi PM 32 tahun 2016, seharusnya Kemenhub harus bisa menjelaskan secara gamblang. Memang bisa dipahami rencana penetapan batas atas dan bawah tarif angkutan online oleh pemerintah adalah untuk melakukan proteksi kepada konsumen dan kesinambungan berusaha perusahaan penyedia aplikasi tersebut.

Namun di era kompetisi yang sangat ketat, seharusnya kontrol pemerintah terhadap tarif tak diperlukan lagi. Ketika harga yang diberikan salah satu penyedia aplikasi mahal, dengan mekanisme pasar berbasis aplikasi konsumen akan dengan mudah  untuk bisa membandingkan. Konsumen akan mencari penyedia aplikasi transportasi online lainnya yang lebih murah.

Namun ketika penyedia aplikasi memberikan harga yang sangat murah dengan ‘bungkusan’ promosi,  tentu saja konsumen yang akan diuntungkan. Sehingga tak perlu lagi pemerintah mengatur dengan ketat tarif transportasi berbasis aplikasi tersebut. Meski demikian yang tak boleh dilakukan oleh  penyedia jasa angkutan online adalah ketika memberikan tarif murah, mereka ‘menggencet’ pendapatan mitra pengemudi. Jangan sampai beban promosi yang seharusnya ditanggung oleh penyedia aplikasi, menjadi beban mitra pengemudi.

Jika pemerintah ingin bertindak tegas dan memberlakukan regulasi dengan adil bagi seluruh pelaku industri transportasi darat, seharusnya pemerintah bisa menertibkan terlebih dahulu tarif taksi konvensional yang beroperasi di bandara. Beberapa penyelenggara taksi konvensional yang berada di bandara kerap menerapkan tarif seenaknya saja. Dengan kedok dan back up dari aparat, mereka dengan seenaknya saja menerapkan tarif angkutan tanpa mau mengikuti aturan yang dibuat oleh pemerintah.

Isu lainnya yang menjadi perhatian masyarakat adalah kewajiban KIR bagi angkutan daring. Beberapa mitra pengemudi memang khwatir adanya rencana KIR yang dilakukan oleh pemerintah. Alasan mereka beragam dari mobil yang tak mau di cat seperti KIR mobil umum lainnya hingga kehilangan kredit kendaraan bermotornya jika KIR dilakukan.

Dalam UU no. 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan disebutkan KIR adalah persyaratan teknis dan perwujudan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Sehingga alasan para mitra pengemudi transportasi daring untuk tidak melakukan KIR adalah tak masuk akal.

Namun demikian pemerintah harus bisa memperbaiki mekanisme KIR yang selama ini terjadi. Hingga saat ini stigma KIR di dinas perhubungan sebagai tempat pungli masih sangat kuat. Padahal filosofi dari KIR adalah uji layak operasi kendaraan bermotor.

Jika pemerintah memiliki nat tulus untuk memperbaiki sistim transporatasi nasional, seharunya KIR hanya dilakukan di bengkel resmi rekanan agen tunggal pemegang merek (ATPM). Bukan di Dinas Perhubungan. Sebab yang mengetahui kendaraan tersebut layak jalan atau tidak adalah teknisi bengkel.Bukan oknum dinas perhubungan. Dinas Perhubungan hanya melakukan sertifikasi bengkel rekanan ATPM saja. Jika bengkel ATPM tersebut nakal, lisensi untuk melakukan uji KIR dapat dicabut.

Seharusnya pemerintah bisa menerapkan KIR seperti di industri penerbangan. Di industri penerbangan yang menerbitkan surat layak terbang adalah maintenance dari GMF AeroAsia atau atau pihak lain yang telah disertifikasi Ditjen Perhubungan Udara. Ditjen Perhubungan Uudara hanya melakukan pengecekkan secara periodik mengenai standarisasi keamanan dan prosedur perawatan pesawat. Bukan melakukan pengecekkan pesawat.

Semoga pemerintah bisa mempertimbangkan banyak asepk dalam menerapkan revisi PM 32 tahun 2016 tersebut sehingga masyrakat dan konsumen tidak ada yang dirugikan. Termasuk membuat standar yang baik bagi transportasi konvensional. Konsumen transportasi nasional saat ini berpaling dari angkutan konvensional dikarenakan standar kenyamanan, keamanan dan tarif tidak sesuai dengan aturan yang ada.

Melihat fenomena tersebut, pemerintah seharusnya  bisa menjalankan regulasi yang berkeadilan. Ini dianalogikan seperti memegang telur. Jika telur dipegang dengan cengkraman yang kuat, maka akan membuat telur tersebut pecah. Jika tidak dicengkrap dengan baik, maka telur akan jatuh dan akhirnya pecah juga.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun