Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akhirnya mengizinkan transportasi berbasis aplikasi untuk dapat beroperasi. Namun, "restu" yang diberikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 1 Juni 2016 tersebut tampaknya tak ikhlas. Sang menteri masih setengah hati memberikan izin beroperasinya transportasi berbasis aplikasi tersebut.
Ini dapat dilihat dari 3 syarat yang diberikan Kementerian Perhubungan agar transportasi berbasis aplikasi ini dapat beroperasi. Syarat tersebut adalah Surat Izin Mengemudi (SIM) yang harus dimiliki pengemudinya harus menggunakan SIM A umum. Namun, jika kendaraannya 7 seaters atau microbus, Kementerian Perhubungan mensyaratkan agar menggunakan SIM B1 Umum.
Syarat lainnya adalah semua kendaraan yang akan digunakan harus melewati Uji KIR. Sedangkan satu persyaratan lain yang diminta Kementerian Perhubungan adalah Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Jonan mengatakan, untuk kendaraan yang tergabung dalam badan hukum (perusahaan/PT) STNK yang digunakan harus atas nama perusahaan. Sedangkan pengemudi yang tergabung dalam Koperasi, harus merujuk pada UU Koperasi.
Jika kita telaah satu per satu persyaratan yang diberikan Menteri Jonan, jelas yang masuk akal hanya uji KIR. Sedangkan yang lainnya mengada-ada dan bertentangan dengan UU Lalulintas sehingga syarat yang diajukan Menteri Jonan bernuansa mengganjal beroperasinya transportasi berbasis aplikasi ini.
Jika Pak Jonan cerdas dan mau membaca kembali UU Lalulintas No 22 Tahun 2009 pada Paragraf 3 mengenai Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi dijelaskan bahwa di Pasal 80 terpampang jelas sekali tertulis kriteria SIM dan batasannya. Kriteria SIM A atau SIM B bukan ditentukan dari berapa jumlah tempat duduk, tetapi ditentukan dari bobot kendaraan.
Dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 80 huruf A dijelaskan bahwa SIM A berlaku untuk pengemudi yang ingin mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang boleh melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
Sedangkan di pasal yang sama di huruf B dijelaskan, SIM B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
Ini jelas sekali Menteri Jonan tak memahami UU Lalulintas.
Nah, sekarang apakah Avanza dan Xenia yang paling banyak dipakai oleh mitra pengemudi berbasis aplikasi memiliki berat 3.500 kilogram? Untuk Avanza dan Xenia berat kosong tak mencapai 2000 kilogram. Avanza hanya memiliki bobot 1.060 kilogram, sedangkan dan Xenia hanya 1,130 kg.
Jika Menteri Jonan tetap memaksakan kehendaknya yang tidak sesuai dengan UU Laluintas, setiap pengendara atau pemiliki mobil minibus seperti Kijang, Suzuki APV, Nissan Grand Livina dan semua jenis mobil dengan 7 tempat duduk, harus membuat SIM B I. Jika tidak, mereka bisa ditilang oleh polisi lalu lintas.
Sedangkan syarat lainnya yang patut kita kritisi adalah syarat STNK. Kendaraan yang tergabung dalam badan hukum (perusahaan/PT) STNK yang digunakan harus atas nama perusahaan. Sedangkan pengemudi yang tergabung dalam koperasi, harus merujuk pada UU Koperasi. Menteri Jonan meminta agar mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi personal yang saat ini beroperasi agar bergabung dengan koperasi. Nantinya pengemudi yang tergabung dalam koperasi harus merujuk pada UU Koperasi.
Sekilas pernyataan Menteri Jonan memberikan angin segar bagi mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi. Namun, kita menelaah lebih lanjut aturan yang ada, maka skema koperasi ini juga tak akan bisa mengakomodasi para mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi. Ini disebabkan UU Koperasi 25 tahun 1992 tak mengatur mengenai pengemudi transportasi berbasis aplikasi.
Dalam UU Koperasi juga tidak dijelaskan mengenai kepemilikan aset yang sudah dimiliki oleh anggota koperasi. Yang dijelaskan dalam UU Koperasi hanya modal koperasi sehingga aset yang dimiliki oleh mitra pengemudi tak bisa dimasukkan ke dalam aset koperasi. Sehingga dari sisi UU koperasi dimungkinkan pengemudi transporasi berbasis aplikasi masuk ke dalam koperasi jika ingin tetap bisa berusaha.
Namun, di PM 32 tahun 2016 yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan tentu saja mengganjal. Jika merujuk Pasal 23 dan 30 PM 32 tahun 2016 dijelaskan bahwa kendaraan wajib dimiliki oleh penyedia jasa. Dalam Pasal 23 PM 32 tahun 2016 juga ditulis STNK kendaraan wajib didaftar atas nama penyedia jasa. Lalu di mana posisi mitra pengemudi transporasi berbasis aplikasi?
Bukannya ingin membela mitra pengemudi transporasi berbasis aplikasi, namun kita sebagai masyarakat harus tetap kritis menyikapi aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika aturan tersebut menjunjung azas kesetaraan dan memiliki spirit untuk mengatur transportasi nasional, tentu masyarakat akan mendukung. Jika aturan dibuat tanpa mementingkan masyarakat luas atau justru hanya membela segelintir pengusaha culas, tentu aturan tersebut harus kita kritisi.
Apalagi proses penerbitan PM 32 tahun 2016 tersebut telah menyalahi UU No. 12 tahun 2011. Dalam UU No 12 tahun 2011 pasal 96 huruf 1 ditulis, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, masyarakat harus dilibatkan. Dengan begitu, masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan jika dalam proses pembentukan PM 32 tahun 2016 tersebut sudah cacat hukum, Â peraturan menteri tersebut juga harus batal demi hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H