Ilustrasi PEmesanan Angkutan Umum Berbasis Aplikasi
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Alih-alih ingin memberangus angkutan umum berbasis aplikasi dengan PM 32 tahun 2016, namun kenyataannya regulasi yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) tersebut memiliki banyak kelemahan. Bahkan regulasi tersebut banyak bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Jika kita merujuk UU No 12 tahun 2011 pasal 96 huruf 1 ditulis, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran masyarakat harus dilibatkan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya di pasal yang sama di huruf 2 disebutkan masukan yang diberikan dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Namun kenyataannya di dalam proses pembuatan PM 32 tahun 2016, peran serta masyarakat diabaikan. Masyarakat dan pelaku usaha khususnya pengusaha angkutan umum berbasis aplikasi sama sekali tidak dimintai pendapatnya ketika regulasi ini dirancang oleh Kemenhub. Padahal di UU dinyatakan dengan jelas bahwa peran serta masyarakat perlu dilibatkan dalam pembuatan regulasi. Apalagi terhadap regulasi yang terbilang sensitif dan bernuansa persaingan bisnis yang hendak mematikan usaha angkutan umum berbasis aplikasi.
Selain itu PM 32 tahun 2016 kental akan nuansa keberpihakkan regulator kepada salahsatu moda transportasi. Pasal 2 UU 22/2009 menyebutkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan asas transparan, asas akuntabel, asas berkelanjutan, asas partisipatif, asas bermanfaat, asas efisien dan efektif, asas seimbang, asas terpadu dan asas mandiri.
Jika kita melihat PM 32/2016 pasal 8 disebutkan taksi boleh menggunakan kendaraan minimal 1000 cc. Sedangkan penyelenggara angkutan sewa hanya diperbolehkan menggunakan kendaraan dengan minimum  1300 cc. Dimanakah asas seimbang yang diinginkan dalam UU transportasi tersebut?
Jika Menteri Jonan memaksakan agar aturan ini berjalan, bisa dipastikan beleid tersebut bertentangan dengan Pasal 198 UU 22/2009 huruf 1. Dalam UU tersebut disebutkan jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.
Diskriminasi penggunaan cc kendaraan bermotor ini menunjukkan keberpihakkan Kemenhub kepada salahsatu pengusaha angkutan umum. Pemerintah berlaku tak adil dan mendorong persaingan tak sehat. Tentu saja beleid ini bertentangan dengan semangat UU transportasi yang telah dibuat oleh DPR dan pemerintah.
Selain peraturan yang dibuat pada era Menteri Jonan ini juga bernuansa ingin memberangus partisipasi masyarakat yang hendak berkontribusi dalam pengembangan angkutan umum. Di dalam UU 22/2009 pasal 7 tertulis jelas, Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
Namun kenyataannya di dalam PM 32/2016 pasal 18 ayat 3 huruf C mensyaratkan STNK harus nama perusahaan. Tentu saja aturan ini bertentangan dengan UU Transportasi yang memiliki semangat asas partisipatif masyarakat, asas efisien dan efektif, asas seimbang dan asas mandiri.
PM 32/2016 pasal 18 ayat 3 huruf C Â jelas-jelas mematikan peluang masyarakat yang selama ini telah menyelenggarakan angkutan sewa. Padahal di dalam pasal 7 UU 22/2009, masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penyelenggaraan angkutan. Mereka tak diberi kesempatan untuk berusaha atau memulai usaha di sektor transportasi sewa. Padahal angkutan taksi, angkuatan pariwisata, angkutan pemukiman dan semua jenis angkutan yang diatur dalam PM 32/2016 tidak diwajibkan STNK harus nama perusahaan.