Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nah Ini Dia, Beleid yang ‘Mengebiri’ Taksi Aplikasi!

20 April 2016   11:16 Diperbarui: 20 April 2016   12:08 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


[PM 32 tahun 2016]

Berbagai cara dilakukan untuk menjegal keberadaan taksi berbasis aplikasi. Salahsatu yang ditempuh kompetitor adalah dengan menginfluence regulator untuk membuat aturan sesuai dengan keinginannya. Regulasi yang sarat dengan persaingan usaha tidak sehat dan bernuansa membangun rezim oligopoli adalah Peraturan Menteri (PM) No 32 tahun 2016.

Beleid yang disinyalir sebagai tools untuk memberangus keberadaan GO-CAR, Uber dan Grab Car adalah pasal 18 ayat 3 huruf C. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa angkutan umum harus menggunakan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan. Padahal di dalam UU no 22 tahun 2009 tidak ditulis keharusan menggunakan nama perusahaan di dalam STNK.

Selain itu Pasal 22 PM 32 tahun 2016 juga dinilai sebagai pemberangusan konsep sharing economy yang mengandalkan jiwa kewirausahaan seseorang untuk menggunakan asset pribadi sebagai alat usaha. Memang semangat dari UU no 22 tahun 2009 adalah menjaring mitra pengemudi untuk taat dalam membayar pajak. Namun niat untuk menjaring pajak tak harus dengan memaksa mitra pegemudi mengalihkan asetnya ke salahsatu badan hukum tersebut. Cukup dengan mewajibkan para mitra pengemudi untuk mendaftar sebagai wajib pajak yang dibuktikan dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Keberpihakkan Kementrian Perhubungan terhadap salahsatu operator transportasi juga dapat terlihat dengan jelas di Pasal 8 PM 32 tahun 2016 mengenai batasan ukuran mesin. Jika dalam aturan mengenai taksi batasan ukuran mesin mobil angkutan antara 1.000 cc hingga  1.500 cc, namun untuk angkutan umum berbasis sewa ditentukan minimal 1300 cc (Pasal 18 (2)(g) PM 32/2016).

Tentu saja ini sangat tidak fair. Perusahaan taksi dan pengusaha angkutan sewa sama-sama memberikan layanan transportasi umum. Namun di dalam regulasi jelas-jelas Kementrian Perhubungan melakukan diskriminasi kepada pengusaha angkutan sewa. Pengusaha angkutan sewa tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan dengan cc yang lebih kecil. Kementrian Perhubungan malah mengizinkan pengusaha taksi menggunakan kendaraan dengan cc yang kecil. Dimanakah keadilan dan independensi Kementrian Perhubungan sebagai regulator transportasi di Indonesia?

Dalam persyaratan permohonan izin untuk angkutan sewa juga terlihat keberpihakan Kementrian Perhubungan kepada pengusaha transportasi konvensional. Dalam Pasal 23 dan 30 pada PM 32/2016 disebutkan bahwa kendaraan wajib dimiliki oleh penyedia jasa transportas. Padahal di peraturan sebelumnya (KM 35/2003) memperbolehkan penyedia jasa untuk “menguasai atau memiliki”. Tentu saja ini bertentangan dengan keadaan di lapangan di mana sebagian kendaraan umum masih terdaftar atas nama individu.

Beberapa pengusaha angkutan umum di Jabodetabek saat ini telah bergabung kedalam koperasi seperti Koperasi Wahana Kalpika (KWK), Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja), Koperasi Angkutan Bekasi (Koasi) dan Koperasi Agung Bhakti (KAB). Namun mereka masih mendaftarkan nama armadanya atas nama individu bukan badan usaha.

Jika ketentuan terdaftarnya nama badan penyedia jasa sebagai pemilik dalam STNK  dikatikan dengan masalah perpajakkan, tentunya sangat relevan. Namun jika dikaitkan dengan masalah keselamatan dan keamanan berkendaraan, tentu sangat tak relevan.

Sebagai ilustrasi, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 101 Tahun 2014 (“Permendagri No. 101/2014”). Permendagri mewajibkan dibalik namanya STNK menjadi nama badan penyedia jasa. Namun demikian, kegagalan untuk mematuhi tidak diberikan sanksi. Kegagalan mematuhi berakibat badan penyedia jasa tidak mendapatkan discount pajak kendaraan bermotor (yaitu, sebesar 70%) yang pada saat ini memang dibayarkan 100% oleh pemilik kendaraan (sehingga pendapatan negara lebih tinggi).

Pasal lain yang terlihat bias terdapat pada Pasal 40-42 PM 32/2016 mengenai Ketentuan Terkait Penyedia Jasa Aplikasi Online terkait dengan penyedia aplikasi untuk tidak (a) menentukan harga, (b) melakukan rekrutmen pengemudi dan (c) menentukan penghasilan pengemudi. Selain itu penyedia aplikasi diwajibkan untuk memberikan informasi sensitif (para mitra, seluruh mobil dan pengemudi).] kepada Kementrian Perhubungan. Menurut saya, aturan tersebut tidaklah tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun