Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Kecelakaan Pesawat di Halim, Miskomunikasi atau Human Error?

6 April 2016   10:15 Diperbarui: 6 April 2016   10:32 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tabrakkan pesawat Batik Air Jenis Boeing 737 PK-LBS dengan pesawat Trans Nusa jenis ATR registrasi PK-TNJ di Lanud Halim Perdanakusuma, menyisakan banyak pertanyaan khususnya aspek keselamatan penerbangan di Indonesia. Pasalnya kecelakaan fatal pesawat di Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang bersamaaan. Pasca tabrakkan pesawat di Halim, pesawat Wing Air jenis ATR registrasi PK-WGM juga mengalami kecelakaan fatal dengan menabrak rambu tanda perbaikan di bandara El Tari, Nusa Tenggara Timur.

Tanpa ingin mendahului laporan Komite Nasional Keselamatan Transportas (KNKT), kecelakaan penerbangan mayoritas disebabkan oleh human error. Setelah faktor human error,kecelakaan penerbangan didominasi oleh tak berfungsinga peralatan di pesawat dan minimnya fasilitas bandara. 

Dalam kasus kecelakaan di bandara El Tari, kuat dugaan kecelakaan fatal tersebut disebabkan kecerobohan dari petugas ground handling dalam mendorong pesawat dari apron yang akan lepas landas.

Sedangkan untuk kasus Halim, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat. Salah satu yang mencuat adalah adanya dugaan tidak standarnya keamanan bandara Halim Perdana Kusuma. Memang jika dilihat sekilat, bandara Halim Perdana Kusuma memiliki fasilitas navigasi nyang memadai. Sebab bandara ini merupakan pangkalan militer TNI Angkan Udara. Bandara ini juga kerap digunakan VVIP untuk lepas landas atau mendarat. Bahkan pada tahun 2011, US Air Force One pernah mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma.

Meski memiliki peralatan navigasi yang mempuni, namun bandara ini tidak didisain untuk penerbangan komersial. Terutama untuk penerbangan komersial yang jumlahnya cukup padat. Sebab bandara Halim tidak dilengkapi dengan taxiway (lintasan untuk persiapan untuk take-off maupun landing). Karena tak memiliki taxiway, membuat pesawat yang ingin melakukan take-off maupun landing dilakukan secara bergantian.

Pernah suatu kali ketika ingin take off dari bandara Halim, pesawat yang berada di apron utara harus menyebrang runway 06 -24 terlebih dahulu sebelum menuju runway 24.  Pesawat tersebut memotong runway 06 -24 menuju apron selatan hanya untuk menunggu pesawat yang akan turun terlebih dahulu. Setelah ada sebuah pesawat landing, pesawat yangmasuk apron selatan tadi kembali memasuki runway 06 -24 dan menuju threshold runway 24.

Tentu saja cara take off ini tidak lazim seperti bandara sipil pada umumnya yang memiliki taxiway. Biasanya di bandara sipil yang memiliki taxiway, pesawat yang hendak takoff namun harus menunggu pesawat yang akan landing terlebih dahulu, bisa menunggu dan melakukan persiapan lepas landas di taxiway. Bukan melintasi runway.

Namun karena fasilitas bandara Soekarno Hatta terbilang padat, maka pemilihan Halim sebagai alternatif pemberangkatan penumpang, bisa dimaklumi. Namun pemerintah harus segera memikirkan aspek keselamatan dengan menambah kapasitas Bandara Soekarno Hatta atau membuat bandara baru.

Sebab bagaimanapun Halim bukanlah bandara yang didisain untuk penerbangan sipil. Terlebih lagi Bandara Halim merupakan bandara militer yang tentunya memiliki banyak kerahasiaan pertahanan udara Indonesia.

Meski bandara Halim bukan didisain untuk penerbangan sipil, bukan berarti bandara tersebut tak bisa didarati pesawat komersial. Dalam kasus tabrakkan Batik dan Trans Nusa, kuat dugaan akibat kecerobohan pilot. Meskipun pihak air traffic control (ATC) telah memberikan ijin untuk taxi atau takeoff, tetap saja sebagai pilot in command (PIC) harus waspada terhadap situasi baik itu di dalam maupun di luar pesawat.

Berdasarkan pengalaman beberapa kali menerbangkan pesawat, kasus kecelakaan tersebut tak harus terjadi jika pilot dan co-pilot wapada dalam menjalankan tugasnya. Apapun yang terjadi keselamatan penumpang dan pesawat menjadi tanggung jawab seorang pilot. Bukan tanggung jawab ATC ataupun petugas ground.

Selain itu seharusnya Kementrian Perhubungan dalam hal ini DitJen Perhubungan Udara harus bertanggung jawab atas kecelakaan ini. Sebab merekalah yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan pilot dan perusahaan penerbangan di Indonesia.

Semoga kasus kecelakaan pesawat ini tak terjadi lagi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun